Thursday, November 7, 2013

Pendidikan Pramuka Dalam Membangun Karakter Bangsa


        Mungkin kita semua sudah sering menyaksikan perilaku generasi muda yang menyimpan dari norma-norma moral, sosial maupun agama. Dalam lingkungan sosial di sekitar kita tinggal banyak dijumpai anak-anak muda yang suka mabuk-mabukan, judi, atau bahkan ada yang berani “mengompas” orang-orang yang sedang lewat. Kita juga sering mendengar anak-anak muda yang hamil di luar nikah. Begitu juga perilaku anak-anak supporter  sepak bola di Surabaya (bonek) di jalan raya pada saat akan  atau sehabis menonton sepak bola sungguh “menakutkan”. Perilaku bonek ini juga merambah ke kota-kota lain, seperti Malang, Jakarta. Tidak jarang mereka secara bersama-sama memaksakan kehendak menghentikan kendaraan yang lewat untuk ditumpangi tanpa peduli kendaraan itu mau kemana. Bahkan terkadang mereka juga meminta uang untuk sekedar membeli minuman atau rokok kepada setiap pengendara mobil yang ditemui di lampu-lampu merah. Perilaku seperti yang dilakukan oleh para supporter  sepak bola  yang rata-rata masih anak-anak muda tersebut jelas merupakan perilaku yang tidak kita harapan. Perilaku mereka telah menyimpang dari norma-norma sosial dan mengganggu ketertiban sosial, serta melangar hak-hak orang lain.
            Kondisi seperti ini tentu sangat memprihatinkan kita semua. Di tengah kondisi bangsa yang sedang terpuruk secara ekonomi, moralitas generasi muda kita juga  terpuruk.  Keterpurukan moralitas generasi muda tentu sangat mengkawatirkan kita semua, sebab merekalah yang  akan menjadi pemimpin bangsa di masa mendatang. Kita tidak bisa membayangkan seandainya bangsa ini nanti dipimpin oleh orang-orang yang tidak bermoral, mungkin negara ini akan semakin kacau. Terpuruknya perekonomian bangsa ini antara lain  juga disebabkan oleh kemerosotan moralitas bangsa. Korupsi di kalangan elit politik dan birokrasi merupakan salah satu indikator kemerosotan moralitas bangsa.
            Budaya korupsi bukan hanya melanda di kalangan birokrat, tetapi juga di kalangan elit politik dari pusat sampai daerah. Otonomi daerah yang semula diharapkan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dalam praktenya justru menumbuhsuburkan korupsi di kalangan elit birokrasi dan elit politik di tingkat lokal. Kewenangan  yang didelegasikan oleh pemerintah pusat justru lebih banyak dipakai untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. Kepentingan rakyat yang seharusnya mereka lindungi dan perjuangkan justru mereka abaikan. Kasus ”Gayus” dan Makelar Kasus yang saat ini sedang menjadi pembicaraan publik yang melibatkan oknum penegak keadilan  jelas merupakan tindakan yang sangat kita sayangkan.  
Krisis moral yang ditandai dengan perilaku destruktif di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda dan korupsi di kalangan elit politik tentu mempunyai akar permasalahan yang bisa kita gali dan kaji lebih mendalam. Tanpa menemukan akar permasalahannya, akan sulit  memberi solusi yang tepat untuk mengatasi krisis moral. Perilaku sesorang tentu bukan hanya sebagai hasil pewarisan genetika, tetapi lebih merupakan hasil dari proses  budaya dan pendidikan yang berlangsung di keluarga, masyarakat, dan sekolah.  Ketiga lembaga tersebut (keluarga, masyarakat, dan sekolah) mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku seseorang. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak. Melalui pendidikan keluarga, anak dikenalkan nilai-nilai yang diyakini dan dijunjung tinggi oleh keluarga. Sedangkan di sekolah anak seharusnya dikenalkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, karena salah satu fungsi pendidikan sekolah menurut para sosiolog (T. Parson, E. Durkheim) adalah sebagai jembatan antara keluarga dan masyarakat, sehingga pada saatnya mereka bisa hidup bersama (living together) secara damai. 
            Adanya berbagai perilaku menyimpang dari generasi muda dan korupsi di kalangan elit politik mengindikasikan ada hal-hal yang perlu dibenahi dalam proses pendidikan kita. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa para elit politik dan generasi muda telah menempuh pendidikan di sekolah mulai dari SD sampai ke SMA, bahkan sampai di perguruan tinggi. Untuk itu,  perlu dikaji, terutama pada pendidikan dasar, bagaimana dengan pendidikan karakter di sekolah?, apakah di sekolah  telah terjadi proses pembentukan karakter?, karakter seperti apa  yang ingin dibentuk melalui pendidikan?, dan bagaimana cara membentuk karakter tersebut?.

Pendidikan Karakter
Antara moral dan karakter keduanya tidak bisa dipisahkan. Karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral (Jack Corley dan Thomas Philip. 2000). Atau dengan kata lain karakter adalah kualitas moral sesorang  Jika seseorang mempunyai moral yang baik maka akan memiliki karakter yang baik yang terwujud dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pendidikan karakter menjadi penting dan strategis dalam membangun bangsa.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Melalui pendidikan karakter kita ingin agar anak mampu menilai apa yang baik, memelihara secara tulus apa yang dikatakan baik itu, dan mewujudkan apa yang diyakini baik walaupun dalam situasi tertekan dan penuh godaan.
Pendidikan Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang  berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Ketiga substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain, karakter  dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik, dalam arti tahu kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berprilaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasil dari olah pikir, olah hati, oleh raga, dan olah rasa dan karsa.
            Upaya membangun karakter bangsa sebenarnya sudah dicanangkan sejak awal kemerdekaan. Seokarno sebagai sebagai salah satu pendiri bangsa telah menegaskan pentingnya nation and character  building. Pada saat proklamsi kemerdekaan, bukan hanya membangun negara, tetapi juga membangun bangsa yang memiliki karakter yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, Pancasila selain difunsikan sebagai dasar negara juga sebagai pandangan hidup dan ideologi.
Fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan prinsip-prinsip dasar  yang diyakini kebenarannya yang kemudian dijadikan  pedoman dalam menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan. Sebagai implikasi  dari funsi Pancasila sebagai pandangan hidup,  maka Pancasila juga merupakan jiwa dan kepribadian, dan sekaligus menjadi moral dan karakter bangsa Indonesia. Oleh karena itu,  upaya membangun karakter bangsa tidak bisa dilepaskan dari Pancasila yang menurut Notonagoro nilai-nilainya digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri. 
 Secara formal, instrument untuk membangun moral dan karakter bangsa sudah ada dalam kurikulum pendidikan nasional yaitu mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) atau sebelumnya mata pelajaran  Pendidikan Moral Pancasila (PMP).   Sebagai instrument pendidikan karakter bangsa, mata pelajaran tersebut diberikan sejak SD sampai ke perguruan tinggi. Ini berarti bahwa semua warga negara, termasuk mereka yang sekarang melakukan korupsi, berperilaku menyimpang, dan menggangu ketertiban sosial, sudah memperoleh pendidikan kewarganegaraan atau Pendidikan Moral Pancasila. Apakah ini bisa dikatakan sebagai kegagalan pendidikan PKn atau PMP?.  Jika ya, apa penyebabnya? Dan bagaimana solusinya? Merupakan pertanyaan yang perlu kita repleksikan dan kita cari jawabannya.
            Meskipun dalam kurikulum pendidikan sudah ada instrument pendidikan karakter,  isinya lebih banyak menekankan aspek kognitif. PKn (yang dulu PMP)  lebih banyak menekankan aspek kognitif daripada aspek aspektif. Padahal, pendidikan moral, apalagi pada anak-anak SD seharusnya  lebih banyak berkaitan dengan aspek afektif, daripada aspek kognitif. Menurut Kohlberg, pendidikan karakter seharusnya dilakukan sejak dini, karena perkembangan jiwa anak pada usia dini lebih banyak didominasi aspek afektifnya daripada aspek kognitifnya.
Dalam kenyataannya, pendidikan kewargaan negara lebih banyak mentransfer pengetahuan dan keterampilan, tanpa disertai dengan internalisasi nilai yang terkandung dalam pengetahuan tersebut. Evaluasi yang digunakanpun juga lebih menekankan aspek kognitif, sehingga proses belajar mengajar di sekolah lebih bersifat transfer pengetahuan, dari pada mengajarkan berpikir secara keilmuan dan internalisasi nilai melalui pemahaman. Peserta didik hanya memiliki pengetahuan, tetapi tanpa memahami nilai-nilai yang terkadung didalamnya. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan  manusia-manusia yang egois, yang tidak memahami arti kehidupan yang didalamnya ada perbedaan, nilai dan norma yang harus dihormati dan dijunjung tingi.       
Model pendidikan karakter yang dilakukan secara formal melalui pendidikan PKn di sekolah, apalagi di SD, selama ini kurang efektif, karena lebih banyak menekankan pada aspek koginitif. Padahal pendidikan karakter khususnya pada anak-anak SD, seharusnya lebih menekankan aspek afektif, melalui pembiasaan dan keteladanan. Selain itu, secara psikologis perkembangan jiwa anak-anak pada usia SD masih didominasi aspek empirik. Kemampuan abstraksi mereka belum berkembang dengan baik. Oleh karena itu, cara belajar mereka masih didominasi dengan meniru apa yang mereka lihat.
Pendidikan tentu bukan hanya sekedar untuk mentransfer ilmu dan keterampilan, tetapi juga merupakan internalisasi nilai-nilai dasar, khususnya nilai-nilai kemanusiaan kepada para peserta didik. Sebagaimana disampaikan oleh Daoud Joesoef, esensi pendidikan adalah proses yang membiasakan manusia sedini mungkin untuk mempelajari, memahami, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama sehingga berguna bagi individu, masyarakat, bangsa, dan negara (Kompas, 3 September 2008).  Hal ini juga sejalan dengan pilar-pilar pendidikan yang dikemukakan oleh   Unesco  yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together.  Belajar untuk hidup bersama, berati belajar untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama oleh  masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan benar-benar dapat menghasilkan manusia yang utuh, yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga menjadi manusia yang wisdom (bijak), yang ditandai dengan adanya kesadaran untuk  bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara, serta lingkungan. Sayangnya pendidikan yang dilakukan selama ini, termasuk Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)  yang diharapkan menajdi instrument pendidikan moral dan karakter bangsa belum mampu menghasilkan manusia-manusia bijak, karena lebih menekankan pada aspek kognitif semata. Pendidikan nilai, sebenarnya tidak hanya menjadi tugas dan tanggungjawab dari guru PKn dan agama, tetapi juga menjadi tugas dan  tanggungjawab semua guru (pendidik), karena setiap ilmu di dalamnya terkandung nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi. Sayangnya, belum semuanya pendidik mampu mengindentifikasi nilai-nilai apa yang terkandung dalam setiap pengetahuan, dan bagaimana cara menginternalisasi nilai-nilai tersebut kepada peserta didik, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi landasan dalam bersikap dan bertindak  dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Pendidikan nilai memang bukan sesuatu yang mudah, karena menuntut kemampuan abstraksi dan analisis dari para pendidik agar bisa menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pengetahuan yang diajarkan. Bahkan guru juga harus mampu mengindentifikasi nilai-nilai apa yang terkadung dalam setiap kompetensi dasar  dalam kurikulum. Ini berarti menuntut ketajaman analisis dan rasa ingin tahu  yang mendalam dari setiap pendidik. Cara berpikir filosopis harus menjadi bagian dari kegiatan belajar mengajar.
            Internalisasi nilai membutuhkan proses yang panjang. Paling tidak ada lima tahap yang harus dilalui, yaitu mengetahui, memahami, menghayati, meyakini, menyadari. Lima tahap tersebut terjadi dalam proses pembelajaran, dan menjadi bagian dari tugas guru atau pendidik. Pengetahuan tidak akan ada maknanya, jika pengetahuan tersebut tidak bermanfaat bagi kehidupan. Tugas pendidik adalah memahamkan, atau paling tidak membawa peserta didiknya untuk bisa memahami makna pengetahuan tersebut bagi kehidupan. Untuk itu, perlu ada penghayatan atas manfaat pengetahuan tersebut dalam kehidupan. Dengan demikian akan muncul keyakinan terhadap fungsi dan manfaat pengetahuan yang dimiliki, yang pada gilirannya muncul kesadaran atas arti dan fungsi pengetahuan tersebut bagi kehidupan. Dengan adanya kesadaran ini diharapkan  terjadi pengamalan ilmu dan pengetahuan untuk kepentingan umat manusia, bukan hanya untuk dirinya sendiri, sehingga keberadaanya bisa bermanfaat bagi orang lain  dan  bisa hidup berdampingan (living togather) bersama orang lain secara damai.
            Banyak nilai-nilai yang bisa diinternalisasi dari setiap mata pelajaran, apalagi pada mata pelajaran IPS, PKn, dan Agama, Dalam mata pelajaran tersebut memuat banyak nilai yang seharusnya diinternalisasikan. Mata pelajaran tersebut  sebenarnya bukan hanya menjadi sarana untuk menstrafer pengetahuan belaka, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai yang universal dalam kehidupan bersama, sebab tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai nilai. Setiap masyarakat mempunyai nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian dijadikan  pedoman dalam hidup bersama, termasuk dalam menentukan baik buruk dari sikap dan perilaku sesorang. Oleh karena itu,  ketidakpahaman atas nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bisa menjadi sumber konflik sosial maupun politik.
            Oleh karena itu , dalam rangka membangun  masyarakat yang beradab (civil society) dan mempersiapkan peserta didik memasuki kehiudpan global, pendidikan nilai yang menjadi karakter bangsa menjadi sangat urgen. Pendidikan nilai harus ditanamkan sejak dini pada generasi muda baik melalui pendidikan keluarga, maupun sekolah, dengan suatu pendekatan yang lebih komprehensif dan integratif.
 
Nilai- Nilai yang universal
            Seorang filsuf  Inggris (Windelbend) menyatakan bahwa hidup  manusia digerakan oleh 5 nilai yaitu nilai relegius/ketuhanan, nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai keindahan, dan nilai keadilan. Nilai-nilai tersebut telah menggerakan dan membimbing manusia dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Nilai ketuhanan telah mendorong setiap orang atau masyarakat untuk mencari Tuhan dan mensimbolkan Tuhan dengan berbagai bentuk, dan mematuhi perintahNya. Nilai kebenaran telah mendorong setiap orang untuk berdiskusi dan berdebat dalam berbagai hal. Nilai kebaikan telah mendoerong orang untuk berperilaku yang yang diharapkan dapat memberi dampak baik pada dirinya. Nilai keindahahan telah mendorong setiap orang untuk berhias diri dan lingkungannnya. Nilai keadilan telah mendorong setiap orang untuk bersedia memberi dan tidak mengambil hak orang lain.
            Nilai-nilai tersebut tidak jauh beda dengan nilai-nilai luhur bangsa yang kemudian dirumuskan sebagai dasar negara dan  pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Pancasila yang didalamnya mengandung nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan telah ditetapkan sebagai   moral dan pandangan hidup bangsa, yang berarti sebagai pedoman dan pembimbing perilaku setiap warga negara Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Nilai-nilai tersebut baik yang dirumuskan oleh Windelbend maupun yang terkandung dalam Pancasila  sebenarnya juga bersumber dari ajaran agama (termasuk Islam). Dalam Alqur’an bisa kita temukan nilai-nilai yang mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang baik (bermoral). Moralitas manusia menurut ajaran Islam bukan hanya dilihat dalam hubungan vertikal (hamblum minaullah), tetapi juga dalam hubungan horisontal (hablum minannas).  Dalam Alqur’an dijelaskan bahwa kemuliaan manusia dihadapan Allah dilihat dari ketaqwaannya (menjalankan perintah dan meninggalkan larangan). Sedangkan kebaikan manusia dihadapan sesama dilihat dari pengakuan dan penerimaan manusia terhadap orang lain, sebagaimana yang dikatakan Hainemman  bahwa adanya Aku karena Engkau. Artinya nilai diriku, baik dan buruknya diriku ditentukan oleh orang lain. Orang lain menilai diriku dari sikap, ucapan dan perbuatanku.
            Oleh karena itu, dalam rangka membangun karakter (moralitas) kepada peserta didik perlu ditanamkan nilai-nilai sosial, moral, dan personal. Nilai-nilai sosial seperti: suka monolong,  menyayangi dan mengkasihi, empati dan simpati kepada penderitaan orang lain, menghormati hak orang lain, menghargai perbedaan, adil, menghargai kelebihan orang lain (memuji), dapat dipercaya, kesopanan. Nilai-nilai moral seperti: kejujuran, dan bertanggung jawab. Dan nilai-nilai personal antara lain  kedisiplinan, kerja keras, dan prestasi.

Pramuka sebagai model Alternatif Pembangunan Karakter Bangsa
            Pramuka yang lebih menekankan para pesertanya untuk mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi dengan pendekatan konstruktivistik dan kooperatif learning tampaknya bisa dijadikan sebagai suatu alternative dalam membangun karakter bangsa. Gerakan pramuka didasari oleh Tri Satya[1] dan Dasa Darma[2]  sarat dengan pendidikan moral dan karakter. Melalui gerakan pramuka anak-anak, bukan hanya dibina agar menjadi warga Negara yang baik, tetapi juga dibina agar menjadi manusia yang baik. Gerakan pramuka bukan hanya mendidik anak agar  menjadi insan-insan yang mencintai tanah air, tetapi juga mencintai sesama warga negara, bahkan juga mencintai sesama maklhuk. Melalui gerakan pramuka anak-anak bukan hanya dibiasakan untuk hidup berdisiplin, tetapi juga jujur, bekerja keras, suka menolong sesama,  dan mempunyai sikap toleran terhadap perbedaan. Mereka bukan hanya diberi pengethuan, tetapi juga langsung mempratekan pengetahuan tersebut dalam realitas yang sesunguhnya, serta diajari belajar dari realitas tersebut. Bahkan dengan mengikuti kegiatan pramuka, sejak dini anak-anak sudah diajari untuk bisa mandiri, tanpa harus menggantungkan kepada orang lain. Bahkan suatu yang khas  di pramuka adalah pendidikan dilakukan dengan model-model permainan, sehingga menyenangkan (seperti moto pramuka: di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang).  Semua itu tentu dirasakan oleh siapa saja yang pernah ikut menjadi pramuka. Keceriaan, kegembiraan, kebersamaan, kejujuran, kedsisiplinan dan toleransi terhadap sesama merupakan hal yang tidak pernah lupa dari ingatan kita.
            Pengalaman  menjadi pramuka telah mengajarkan kepada kita untuk selalu disiplin, jujur, bertanggung jawab, ulet, tangguh, dan bekerja keras. Semua itu merupakan modal yang harus ditanamkan kepada setiap generasi muda, agar sumber daya manusia Indonesia mempunyai daya kompetisi dengan bangsa lain. Generasi muda sekarang sebagian besar termasuk generasi yang “lemah” baik secara fisik maupun mental. Ketika mereka dihadapkan pada kesulitan mereka mudah menyerah, dan stress. Hal ini banyak kita saksikan di kalangan mahasiswa. Setiap tahun ajaran baru, diadakan kegiatan Kemah Bakti Mahasiswa (KBM) yang  pada umumnya diselenggarakan di luar kota di daerah pegunungan, para mahasiswa baru  banyak yang stress tidak tahan menghadapi banyaknya kegitan yang dirancang oleh panitia. Mereka juga banyak yang sakit, karena tidak tahan dengan udara penggunungan yang dingin. Kegiatan-kegiatan  di luar  gedung seperti di daerah pegunungan tentu sudah  merupakan hal yang biasa bagi pramuka. 
            Pembangunan moral dan karakter bangsa tentu juga bukan merupakan sesuatu yang dapat dilakukan secara instans, tetapi melalui proses panjang dan harus dilakukan sejak dini. Pendidikan moral dan karakter juga tidak cukup dilakukan dengan retorika, tetapi harus dikerjakan secara berkelanjutan dengan memberi keteladanan. Model pendidikan tersebut, secara konseptual sesuai dengan prinsip yang dijunjung tinggi dalam gerakan pramuka. Oleh karena itu, gerakan pramuka bisa dijadikan sebagai alternatife bagi pembangunan moral dan karakter bangsa.
            Pendidikan pramuka bukan hanya menngajarkan ketrampilan, dan pengetahuan, tetapi juga mengajarkan moralitas dan karakter, bagaimana menjadi  kesatria yang rela berkorban untuk orang lain,  suka bekerja keras, tabah dan ulet, serta  mempunyai sifat jujur, bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Pendidikan pramuka juga bukan hanya  dengan retorika, tetapai dengan praktek langsung  dalam  kehidupan nyata dan disertai  keteladanan dari para Pembina. Model pendidikan semacam ini tepat untuk membangun moralitas dan karakter, apalagi jika dimulai sejak dini. Pembangunan karakter  melalui pendidikan pramuka seharusnya  dilakukan sejak dini, pada usia-usia SD dan SLTP. Pada masa tersebut, pemikiran anak masih belum diliputi oleh banyak kepentingan (masih murni). Jika kita kaitkan dengan teori John Look (tabula rasa), maka pembangunan moral dan  karakter lebih tepat pada usia dini. Selain itu, pendidikan pramuka yang lebih menekankan pada kegiatan yang menarik (permainan) secara psikologi lebih tepat untuk anak-anak. Sebagai homo ludens (makhluk yang suka bermain), anak-anak lebih suka dengan permainan. Dan pramuka telah menjadikan permainan sebagai media pendidikan.
            Bagi anak-anak usia SD permainan bukan hanya dapat dijadikan sebagai media pendidikan yang menyenangkan dan membuat siswa aktif, tetapi juga bisa dijadikan  media untuk menumbuhkan kreatifitas, solidaritas sosial, sportifitas, dan merangsang pertumbuhan, serta meningkatkan kesegaran jasmani. Bahkan  dengan model pendidikan tematik yang akan diterapkan untuk anak-anak SD kelas 1 dan 2 akan lebih tepat jika digunakan model pendidikan pramuka yang dikemas dengan permainan.
Sayangnya, pendidikan pramuka saat ini hanya menjadi kegiatan ekstra kurikuler di sekolah-sekolah, terutama di SD dan SMP. Seminggu sekali  para pelajar  mengenakan seragam  pramuka. Persoalanannya adalah gerakan pramuka di sekolah-sekolah tersebut sekarang tinggal simbol dan kurang diminati oleh para siswa. Gerakan pramuka di sekolah hanya terbatas pada uniform (seragam) saja, tetapi kurang pada in action, yang langsung mengajak para siswa  terjun dan belajar langsung  dari kehidupan nyata. Dari pendapat beberapa siswa yang penulis wawancarai, mereka kurang tertarik pada kegiatan pramuka, karena hanya bersifat teori. Kegiatan permainan yang menarik dan kreatif sebagai ciri khas dari kegiatan pramuka sering ditinggalkan. Akibatnya pendidikan pramuka tidak beda dengan pelajaran lain di sekolah yang membosankan. Ini tentu menjadi tantangan bagi para Pembina pramuka, untuk melakukan inovasi yang bisa menarik para siswa untuk mengikuti kegiatan pramuka.
Memang harus diakui bahwa kedudukan pendidikan pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler kurang mempunyai otoritas untuk dipaksakan kepada para siswa, sehingga pendidikan pramuka hanya menjadi tawaran kepada yang berminat. Di sisi lain, sekolah (kepala sekolah dan  guru) tidak semua paham tentang arti dan manfaat kegiatan pramuka. Meskipun para guru, ketika mengikuti pendidikan guru mungkin juga sudah mendapat pendidikan kepramukaan, tetapi lebih banyak bersifat teoritis. Sementara pendidikan kepramukaan membutuhkan kreatifitas para pendidik/pembina untuk mengembangkan model-model permainan  yang menarik dan mendidik.  Selain itu, pendidikan kepramukaan tidak harus selalu di dalam kelas, tetapi justru akan lebih menarik jika dilakukan di luar kelas (outdoor). Seperti dari hasil wawancara dengan para siswa, kegitan pramuka macam apa yang paling diminati adalah ketika camping/ berkemah.
Kiranya untuk mengatasi persoalan krisis moralitas di kalangan generasi muda, pendidikan pramuka bisa dijadikan sebagai alternative untuk diintegrasikan dalam kurikulum sekolah, khususnya untuk SD dan SMP, sehingga bisa “diwajibkan” untuk semua siswa. Meskipun demikian, para guru atau Pembina pramuka juga harus mengembangkan berbagai model pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, sehingga menarik bagi anak-anak. Jika nilai-nilai dasa darma yang selama ini menjadi pedoman perilaku pramuka bisa ditanamkan kepada para siswa SD, kiranya akan menjadi landasan moral yang sangat kokoh bagi moralitas bangsa ke depan. Saya yakin, bagi siapa saja yang berjiwa pramuka (Tri Satya dan Dasa Dharma) mempunyai moralitas yang baik, yang tidak mudah tergoda dengan berbagai godaan yang mengajak pada perilaku yang menyimpang dari norma sosial, norma moral dan norma agama.


Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. 2005. ”Pendidikan Kewarganegaraan untuk Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 57/XXVIII/III/2005.
Blackburn, Simon. 1994.  The Oxford Dictionary of Philosophy. London: Oxford University Press.
Corley, Jack and Philip Thomas.  2000. The Urgent Need for Character Education. Paper  was presented in Hyaat Regency Hotel Surabaua in May, 6, 2000. 
Daoud Joesoef. 2008.  esensi pendidikan, (Kompas, 3 September 2008).
Featherstone, M.; Lash, S. and Robertson, R. (ed). 1995. Global Modernities. London:
SAGE Publication.
Gellner, Ernest. 1994. Encounters With Nationalism. Cambridge: I3alckweel.
Haralambos Michael and Holborn Martin.  2000. Sociology Themes and Perspectives. Fifth edition.  London:  Harper Collins Publishers Limited.
Hartoko, Dick. ((ed.). 1985. Memanusiakan Manusia Muda. Yogyakarta:  Kanisius.
Kurtines, M. Wiliam and Cerwitz, L. Jacob (ed). 1992. Moralitas, Perilaku Moral dan Perkembangan Moral. Terjemahan M.I. Soelaeman. Jakarta, UI PRESS
Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesia: Sebuah pertanggungan Jawab. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Notonagoro, 1975. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: pantjuran Tujuh.
Sartono, K. 1993. Pembangunan Bangsa, tentang nasionalisme, kesadaran dan kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.
Soetandyo, W. 1999. Perubahan Kehidupan dan Lokal ke yang nasional, Bersiterus ke
yang Global pada Era Millenium Ketiga Masehi.
Makalah disampaikan pada
acara Wisuda Ssarjana Strata 1 Universitas 45 Surabaya, pada tanggal 7
Desember 1999.
Zurría, Nurul. 2007. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Yakarta: Bumi Aksara.











[1] Tri Satya: demi kehormatankau aku bersungguh-sungguh  menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan Yang maha Esa, Negara Kesatuan Republic Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945;  Menolong sesame hidup  dan ikut serta membangun masyarakat; Menepati Dasa Dharma.
[2] Dasa Dharma:1) bertaqwa kepada Tuhan YME; 2) Cinta alam dan kasih saying; 3) patriot yang sopan dan kesatria; 4) patuh dan suka bermusyawarah; 5) rela menolong dan tabah; 6) rajin trampil dan gembira; 7) hemat, cermat, dan bersahaja; 8)  disiplin, berani, dan setia; 9) bertanggungjawab dan dapat dipercaya; 10)  suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

0 comments:

Post a Comment