Mungkin kita semua sudah sering
menyaksikan perilaku generasi muda yang menyimpan dari norma-norma moral, sosial
maupun agama. Dalam lingkungan sosial di sekitar kita tinggal banyak dijumpai
anak-anak muda yang suka mabuk-mabukan, judi, atau bahkan ada yang berani
“mengompas” orang-orang yang sedang lewat. Kita juga sering mendengar anak-anak muda yang hamil di
luar nikah. Begitu juga perilaku anak-anak supporter sepak bola di Surabaya (bonek) di jalan raya
pada saat akan atau sehabis menonton
sepak bola sungguh “menakutkan”. Perilaku bonek ini juga
merambah ke kota-kota lain, seperti Malang, Jakarta. Tidak jarang mereka secara
bersama-sama memaksakan kehendak menghentikan kendaraan yang lewat untuk
ditumpangi tanpa peduli kendaraan itu mau kemana. Bahkan terkadang mereka juga meminta uang untuk sekedar
membeli minuman atau rokok kepada setiap pengendara mobil yang ditemui di
lampu-lampu merah. Perilaku seperti yang dilakukan oleh para supporter sepak bola yang rata-rata masih anak-anak muda tersebut
jelas merupakan perilaku yang tidak kita harapan. Perilaku mereka telah
menyimpang dari norma-norma sosial dan mengganggu ketertiban sosial, serta
melangar hak-hak orang lain.
Kondisi seperti ini tentu sangat memprihatinkan kita
semua. Di tengah kondisi bangsa yang sedang terpuruk secara ekonomi, moralitas
generasi muda kita juga terpuruk. Keterpurukan moralitas generasi muda tentu
sangat mengkawatirkan kita semua, sebab merekalah yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa
mendatang. Kita tidak bisa membayangkan seandainya bangsa ini nanti dipimpin
oleh orang-orang yang tidak bermoral, mungkin negara ini akan semakin kacau.
Terpuruknya perekonomian bangsa ini antara lain
juga disebabkan oleh kemerosotan moralitas bangsa. Korupsi di kalangan
elit politik dan birokrasi merupakan salah satu indikator kemerosotan moralitas
bangsa.
Budaya korupsi bukan hanya melanda
di kalangan birokrat, tetapi juga di kalangan elit politik dari pusat sampai
daerah. Otonomi daerah yang semula diharapkan untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan, dalam praktenya justru menumbuhsuburkan korupsi
di kalangan elit birokrasi dan elit politik di tingkat lokal. Kewenangan yang didelegasikan oleh pemerintah pusat
justru lebih banyak dipakai untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya.
Kepentingan rakyat yang seharusnya mereka lindungi dan perjuangkan justru mereka
abaikan. Kasus ”Gayus” dan Makelar Kasus yang saat ini sedang menjadi
pembicaraan publik yang melibatkan oknum penegak keadilan jelas merupakan tindakan yang sangat kita
sayangkan.
Krisis moral yang
ditandai dengan perilaku destruktif di kalangan masyarakat, khususnya generasi
muda dan korupsi di kalangan elit politik tentu mempunyai akar permasalahan
yang bisa kita gali dan kaji lebih mendalam. Tanpa menemukan akar
permasalahannya, akan sulit memberi
solusi yang tepat untuk mengatasi krisis moral. Perilaku sesorang tentu bukan
hanya sebagai hasil pewarisan genetika, tetapi lebih merupakan hasil dari
proses budaya dan pendidikan yang
berlangsung di keluarga, masyarakat, dan sekolah. Ketiga lembaga tersebut (keluarga,
masyarakat, dan sekolah) mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk
perilaku seseorang. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama
bagi seorang anak. Melalui pendidikan keluarga, anak dikenalkan nilai-nilai
yang diyakini dan dijunjung tinggi oleh keluarga. Sedangkan di sekolah anak
seharusnya dikenalkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, karena salah satu
fungsi pendidikan sekolah menurut para sosiolog (T. Parson, E. Durkheim) adalah
sebagai jembatan antara keluarga dan masyarakat, sehingga pada saatnya mereka
bisa hidup bersama (living together)
secara damai.
Adanya berbagai perilaku menyimpang dari generasi muda
dan korupsi di kalangan elit politik mengindikasikan ada hal-hal yang perlu
dibenahi dalam proses pendidikan kita. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
para elit politik dan generasi muda telah menempuh pendidikan di sekolah mulai
dari SD sampai ke SMA, bahkan sampai di perguruan tinggi. Untuk itu, perlu dikaji, terutama pada pendidikan dasar,
bagaimana dengan pendidikan karakter di sekolah?, apakah di sekolah telah terjadi proses pembentukan karakter?, karakter
seperti apa yang ingin dibentuk melalui
pendidikan?, dan bagaimana cara membentuk karakter tersebut?.
Pendidikan Karakter
Antara moral dan
karakter keduanya tidak bisa dipisahkan. Karakter merupakan sikap dan kebiasaan
seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral (Jack Corley dan
Thomas Philip. 2000). Atau dengan kata lain karakter adalah kualitas moral
sesorang Jika seseorang mempunyai moral
yang baik maka akan memiliki karakter yang baik yang terwujud dalam sikap dan
perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pendidikan karakter
menjadi penting dan strategis dalam membangun bangsa.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan
budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa
yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati. Melalui pendidikan karakter kita ingin agar anak mampu menilai
apa yang baik, memelihara secara tulus apa yang dikatakan baik itu, dan
mewujudkan apa yang diyakini baik walaupun dalam situasi tertekan dan penuh
godaan.
Pendidikan Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik
agar menjadi manusia seutuhnya yang
berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.
Ketiga substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada kehidupan moral
dan kematangan moral individu. Dengan kata lain, karakter dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik,
dalam arti tahu kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berprilaku baik, yang
secara koheren memancar sebagai hasil dari olah pikir, olah hati, oleh raga,
dan olah rasa dan karsa.
Upaya membangun karakter bangsa sebenarnya sudah
dicanangkan sejak awal kemerdekaan. Seokarno sebagai sebagai salah satu pendiri
bangsa telah menegaskan pentingnya nation
and character building. Pada saat proklamsi
kemerdekaan, bukan hanya membangun negara, tetapi juga membangun bangsa yang
memiliki karakter yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu,
Pancasila selain difunsikan sebagai dasar negara juga sebagai pandangan hidup
dan ideologi.
Fungsi Pancasila
sebagai pandangan hidup merupakan prinsip-prinsip dasar yang diyakini kebenarannya yang kemudian
dijadikan pedoman dalam menghadapi
berbagai persoalan dalam kehidupan. Sebagai implikasi dari funsi Pancasila sebagai pandangan
hidup, maka Pancasila juga merupakan
jiwa dan kepribadian, dan sekaligus menjadi moral dan karakter bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, upaya
membangun karakter bangsa tidak bisa dilepaskan dari Pancasila yang menurut
Notonagoro nilai-nilainya digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri.
Secara formal, instrument untuk membangun
moral dan karakter bangsa sudah ada dalam kurikulum pendidikan nasional yaitu
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) atau sebelumnya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sebagai instrument pendidikan karakter
bangsa, mata pelajaran tersebut diberikan sejak SD sampai ke perguruan tinggi. Ini
berarti bahwa semua warga negara, termasuk mereka yang sekarang melakukan
korupsi, berperilaku menyimpang, dan menggangu ketertiban sosial, sudah
memperoleh pendidikan kewarganegaraan atau Pendidikan Moral Pancasila. Apakah
ini bisa dikatakan sebagai kegagalan pendidikan PKn atau PMP?. Jika ya, apa
penyebabnya? Dan bagaimana solusinya? Merupakan pertanyaan yang perlu kita
repleksikan dan kita cari jawabannya.
Meskipun
dalam kurikulum pendidikan sudah ada instrument pendidikan karakter, isinya lebih banyak menekankan aspek kognitif.
PKn (yang dulu PMP) lebih banyak
menekankan aspek kognitif daripada aspek aspektif. Padahal, pendidikan moral,
apalagi pada anak-anak SD seharusnya
lebih banyak berkaitan dengan aspek afektif, daripada aspek kognitif. Menurut
Kohlberg, pendidikan karakter seharusnya dilakukan sejak dini, karena
perkembangan jiwa anak pada usia dini lebih banyak didominasi aspek afektifnya
daripada aspek kognitifnya.
Dalam kenyataannya,
pendidikan kewargaan negara lebih banyak mentransfer pengetahuan dan
keterampilan, tanpa disertai dengan internalisasi nilai yang terkandung dalam
pengetahuan tersebut. Evaluasi yang digunakanpun juga lebih menekankan aspek
kognitif, sehingga proses belajar mengajar di sekolah lebih bersifat transfer
pengetahuan, dari pada mengajarkan berpikir secara keilmuan dan internalisasi
nilai melalui pemahaman. Peserta didik hanya memiliki pengetahuan, tetapi tanpa
memahami nilai-nilai yang terkadung didalamnya. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan manusia-manusia yang egois, yang tidak
memahami arti kehidupan yang didalamnya ada perbedaan, nilai dan norma yang
harus dihormati dan dijunjung tingi.
Model pendidikan
karakter yang dilakukan secara formal melalui pendidikan PKn di sekolah, apalagi
di SD, selama ini kurang efektif, karena lebih banyak menekankan pada aspek koginitif.
Padahal pendidikan karakter khususnya pada anak-anak SD, seharusnya lebih
menekankan aspek afektif, melalui pembiasaan dan keteladanan. Selain itu,
secara psikologis perkembangan jiwa anak-anak pada usia SD masih didominasi
aspek empirik. Kemampuan abstraksi mereka belum berkembang dengan baik. Oleh
karena itu, cara belajar mereka masih didominasi dengan meniru apa yang mereka
lihat.
Pendidikan tentu bukan
hanya sekedar untuk mentransfer ilmu dan keterampilan, tetapi juga merupakan
internalisasi nilai-nilai dasar, khususnya nilai-nilai kemanusiaan kepada para
peserta didik. Sebagaimana disampaikan oleh Daoud Joesoef, esensi pendidikan
adalah proses yang membiasakan manusia sedini mungkin untuk mempelajari,
memahami, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama
sehingga berguna bagi individu, masyarakat, bangsa, dan negara (Kompas, 3
September 2008). Hal
ini juga sejalan dengan pilar-pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco
yaitu learning to know, learning
to do, learning to be, dan learning
to life together. Belajar untuk
hidup bersama, berati belajar untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai yang
disepakati bersama oleh masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan benar-benar dapat
menghasilkan manusia yang utuh, yang bukan hanya cerdas secara intelektual,
tetapi juga menjadi manusia yang wisdom
(bijak), yang ditandai dengan adanya kesadaran untuk bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri,
masyarakat, bangsa dan negara, serta lingkungan. Sayangnya pendidikan yang
dilakukan selama ini, termasuk Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang diharapkan menajdi instrument pendidikan
moral dan karakter bangsa belum mampu menghasilkan manusia-manusia bijak, karena
lebih menekankan pada aspek kognitif semata. Pendidikan nilai, sebenarnya tidak
hanya menjadi tugas dan tanggungjawab dari guru PKn dan agama, tetapi juga
menjadi tugas dan tanggungjawab semua
guru (pendidik), karena setiap ilmu di dalamnya terkandung nilai-nilai yang
harus dijunjung tinggi. Sayangnya, belum semuanya pendidik mampu
mengindentifikasi nilai-nilai apa yang terkandung dalam setiap pengetahuan, dan
bagaimana cara menginternalisasi nilai-nilai tersebut kepada peserta didik,
sehingga nilai-nilai tersebut menjadi landasan dalam bersikap dan
bertindak dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Pendidikan nilai memang bukan
sesuatu yang mudah, karena menuntut kemampuan abstraksi dan analisis dari para
pendidik agar bisa menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap
pengetahuan yang diajarkan. Bahkan guru juga harus mampu mengindentifikasi
nilai-nilai apa yang terkadung dalam setiap kompetensi dasar dalam kurikulum. Ini berarti menuntut ketajaman analisis dan rasa ingin
tahu yang mendalam dari setiap pendidik.
Cara berpikir filosopis harus menjadi bagian dari kegiatan belajar mengajar.
Internalisasi nilai membutuhkan proses yang panjang.
Paling tidak ada lima tahap yang harus dilalui, yaitu mengetahui, memahami,
menghayati, meyakini, menyadari. Lima tahap tersebut
terjadi dalam proses pembelajaran, dan menjadi bagian dari tugas guru atau
pendidik. Pengetahuan tidak akan ada maknanya, jika pengetahuan tersebut tidak
bermanfaat bagi kehidupan. Tugas pendidik adalah memahamkan, atau paling tidak
membawa peserta didiknya untuk bisa memahami makna pengetahuan tersebut bagi
kehidupan. Untuk itu, perlu ada penghayatan atas manfaat pengetahuan tersebut
dalam kehidupan. Dengan demikian akan muncul keyakinan terhadap fungsi dan
manfaat pengetahuan yang dimiliki, yang pada gilirannya muncul kesadaran atas
arti dan fungsi pengetahuan tersebut bagi kehidupan. Dengan adanya kesadaran
ini diharapkan terjadi pengamalan ilmu
dan pengetahuan untuk kepentingan umat manusia, bukan hanya untuk dirinya
sendiri, sehingga keberadaanya bisa bermanfaat bagi orang lain dan
bisa hidup berdampingan (living
togather) bersama orang lain secara damai.
Banyak
nilai-nilai yang bisa diinternalisasi dari setiap mata pelajaran, apalagi pada mata
pelajaran IPS, PKn, dan Agama, Dalam mata pelajaran tersebut memuat banyak
nilai yang seharusnya diinternalisasikan. Mata pelajaran tersebut sebenarnya bukan hanya menjadi sarana untuk
menstrafer pengetahuan belaka, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana
menginternalisasikan nilai-nilai yang universal dalam kehidupan bersama, sebab
tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai nilai. Setiap masyarakat mempunyai
nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian dijadikan pedoman dalam hidup bersama, termasuk dalam
menentukan baik buruk dari sikap dan perilaku sesorang. Oleh karena itu, ketidakpahaman atas nilai-nilai yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bisa menjadi sumber
konflik sosial maupun politik.
Oleh
karena itu , dalam rangka membangun
masyarakat yang beradab (civil
society) dan mempersiapkan peserta didik memasuki kehiudpan global,
pendidikan nilai yang menjadi karakter bangsa menjadi sangat urgen. Pendidikan
nilai harus ditanamkan sejak dini pada generasi muda baik melalui pendidikan
keluarga, maupun sekolah, dengan suatu pendekatan yang lebih komprehensif dan
integratif.
Nilai- Nilai yang
universal
Seorang
filsuf Inggris (Windelbend) menyatakan
bahwa hidup manusia digerakan oleh 5
nilai yaitu nilai relegius/ketuhanan, nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai
keindahan, dan nilai keadilan. Nilai-nilai tersebut telah menggerakan dan
membimbing manusia dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Nilai ketuhanan
telah mendorong setiap orang atau masyarakat untuk mencari Tuhan dan
mensimbolkan Tuhan dengan berbagai bentuk, dan mematuhi perintahNya. Nilai
kebenaran telah mendorong setiap orang untuk berdiskusi dan berdebat dalam
berbagai hal. Nilai kebaikan telah mendoerong orang untuk berperilaku yang yang
diharapkan dapat memberi dampak baik pada dirinya. Nilai keindahahan telah
mendorong setiap orang untuk berhias diri dan lingkungannnya. Nilai keadilan
telah mendorong setiap orang untuk bersedia memberi dan tidak mengambil hak
orang lain.
Nilai-nilai
tersebut tidak jauh beda dengan nilai-nilai luhur bangsa yang kemudian
dirumuskan sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Pancasila yang didalamnya
mengandung nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan telah ditetapkan sebagai moral
dan pandangan hidup bangsa, yang berarti sebagai pedoman dan pembimbing
perilaku setiap warga negara Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Nilai-nilai
tersebut baik yang dirumuskan oleh Windelbend maupun yang terkandung dalam
Pancasila sebenarnya juga bersumber dari
ajaran agama (termasuk Islam). Dalam Alqur’an bisa kita temukan nilai-nilai
yang mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang baik (bermoral). Moralitas
manusia menurut ajaran Islam bukan hanya dilihat dalam hubungan vertikal (hamblum minaullah), tetapi juga dalam
hubungan horisontal (hablum minannas). Dalam Alqur’an dijelaskan bahwa kemuliaan
manusia dihadapan Allah dilihat dari ketaqwaannya (menjalankan perintah dan
meninggalkan larangan). Sedangkan kebaikan manusia dihadapan sesama dilihat
dari pengakuan dan penerimaan manusia terhadap orang lain, sebagaimana yang
dikatakan Hainemman bahwa adanya Aku karena Engkau. Artinya nilai
diriku, baik dan buruknya diriku ditentukan oleh orang lain. Orang lain menilai
diriku dari sikap, ucapan dan perbuatanku.
Oleh
karena itu, dalam rangka membangun karakter (moralitas) kepada peserta didik
perlu ditanamkan nilai-nilai sosial, moral, dan personal. Nilai-nilai sosial
seperti: suka monolong, menyayangi dan
mengkasihi, empati dan simpati kepada penderitaan orang lain, menghormati hak
orang lain, menghargai perbedaan, adil, menghargai kelebihan orang lain
(memuji), dapat dipercaya, kesopanan. Nilai-nilai moral seperti: kejujuran, dan
bertanggung jawab. Dan nilai-nilai personal antara lain kedisiplinan, kerja keras, dan prestasi.
Pramuka sebagai model
Alternatif Pembangunan Karakter Bangsa
Pramuka
yang lebih menekankan para pesertanya untuk mencari solusi atas permasalahan
yang dihadapi dengan pendekatan konstruktivistik dan kooperatif learning
tampaknya bisa dijadikan sebagai suatu alternative dalam membangun karakter
bangsa. Gerakan pramuka didasari oleh Tri Satya[1]
dan Dasa Darma[2] sarat dengan pendidikan moral dan karakter.
Melalui gerakan pramuka anak-anak, bukan hanya dibina agar menjadi warga Negara
yang baik, tetapi juga dibina agar menjadi manusia yang baik. Gerakan pramuka
bukan hanya mendidik anak agar menjadi
insan-insan yang mencintai tanah air, tetapi juga mencintai sesama warga negara,
bahkan juga mencintai sesama maklhuk. Melalui gerakan pramuka anak-anak bukan
hanya dibiasakan untuk hidup berdisiplin, tetapi juga jujur, bekerja keras,
suka menolong sesama, dan mempunyai
sikap toleran terhadap perbedaan. Mereka bukan hanya diberi pengethuan, tetapi
juga langsung mempratekan pengetahuan tersebut dalam realitas yang sesunguhnya,
serta diajari belajar dari realitas tersebut. Bahkan dengan mengikuti kegiatan
pramuka, sejak dini anak-anak sudah diajari untuk bisa mandiri, tanpa harus
menggantungkan kepada orang lain. Bahkan suatu yang khas di pramuka adalah pendidikan dilakukan dengan
model-model permainan, sehingga menyenangkan (seperti moto pramuka: di sini
senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang). Semua itu tentu dirasakan oleh siapa saja
yang pernah ikut menjadi pramuka. Keceriaan, kegembiraan, kebersamaan,
kejujuran, kedsisiplinan dan toleransi terhadap sesama merupakan hal yang tidak
pernah lupa dari ingatan kita.
Pengalaman
menjadi pramuka telah mengajarkan kepada
kita untuk selalu disiplin, jujur, bertanggung jawab, ulet, tangguh, dan
bekerja keras. Semua itu merupakan modal yang harus ditanamkan kepada setiap
generasi muda, agar sumber daya manusia Indonesia mempunyai daya kompetisi
dengan bangsa lain. Generasi muda sekarang sebagian besar termasuk generasi
yang “lemah” baik secara fisik maupun mental. Ketika mereka dihadapkan pada
kesulitan mereka mudah menyerah, dan stress. Hal ini banyak kita saksikan di
kalangan mahasiswa. Setiap tahun ajaran baru, diadakan kegiatan Kemah Bakti
Mahasiswa (KBM) yang pada umumnya
diselenggarakan di luar kota di daerah pegunungan, para mahasiswa baru banyak yang stress tidak tahan menghadapi
banyaknya kegitan yang dirancang oleh panitia. Mereka juga banyak yang sakit,
karena tidak tahan dengan udara penggunungan yang dingin.
Kegiatan-kegiatan di luar gedung seperti di daerah pegunungan tentu
sudah merupakan hal yang biasa bagi
pramuka.
Pembangunan
moral dan karakter bangsa tentu juga bukan merupakan sesuatu yang dapat
dilakukan secara instans, tetapi melalui proses panjang dan harus dilakukan
sejak dini. Pendidikan moral dan karakter juga tidak cukup dilakukan dengan
retorika, tetapi harus dikerjakan secara berkelanjutan dengan memberi
keteladanan. Model pendidikan tersebut, secara konseptual sesuai dengan prinsip
yang dijunjung tinggi dalam gerakan pramuka. Oleh karena itu, gerakan pramuka bisa
dijadikan sebagai alternatife bagi pembangunan moral dan karakter bangsa.
Pendidikan
pramuka bukan hanya menngajarkan ketrampilan, dan pengetahuan, tetapi juga
mengajarkan moralitas dan karakter, bagaimana menjadi kesatria yang rela berkorban untuk orang
lain, suka bekerja keras, tabah dan
ulet, serta mempunyai sifat jujur, bertanggung
jawab dan dapat dipercaya. Pendidikan pramuka juga bukan hanya dengan retorika, tetapai dengan praktek
langsung dalam kehidupan nyata dan disertai keteladanan dari para Pembina. Model
pendidikan semacam ini tepat untuk membangun moralitas dan karakter, apalagi
jika dimulai sejak dini. Pembangunan karakter melalui pendidikan pramuka seharusnya dilakukan sejak dini, pada usia-usia SD dan
SLTP. Pada masa tersebut, pemikiran anak masih belum diliputi oleh banyak
kepentingan (masih murni). Jika kita kaitkan dengan teori John Look (tabula rasa), maka pembangunan moral
dan karakter lebih tepat pada usia dini.
Selain itu, pendidikan pramuka yang lebih menekankan pada kegiatan yang menarik
(permainan) secara psikologi lebih tepat untuk anak-anak. Sebagai homo ludens (makhluk yang suka bermain),
anak-anak lebih suka dengan permainan. Dan pramuka telah menjadikan permainan
sebagai media pendidikan.
Bagi
anak-anak usia SD permainan bukan hanya dapat dijadikan sebagai media
pendidikan yang menyenangkan dan membuat siswa aktif, tetapi juga bisa
dijadikan media untuk menumbuhkan
kreatifitas, solidaritas sosial, sportifitas, dan merangsang pertumbuhan, serta
meningkatkan kesegaran jasmani. Bahkan
dengan model pendidikan tematik yang akan diterapkan untuk anak-anak SD
kelas 1 dan 2 akan lebih tepat jika digunakan model pendidikan pramuka yang
dikemas dengan permainan.
Sayangnya, pendidikan
pramuka saat ini hanya menjadi kegiatan ekstra kurikuler di sekolah-sekolah,
terutama di SD dan SMP. Seminggu sekali
para pelajar mengenakan seragam pramuka. Persoalanannya adalah gerakan
pramuka di sekolah-sekolah tersebut sekarang tinggal simbol dan kurang diminati
oleh para siswa. Gerakan pramuka di sekolah hanya terbatas pada uniform
(seragam) saja, tetapi kurang pada in
action, yang langsung mengajak para siswa
terjun dan belajar langsung dari
kehidupan nyata. Dari pendapat beberapa siswa yang penulis wawancarai, mereka
kurang tertarik pada kegiatan pramuka, karena hanya bersifat teori. Kegiatan
permainan yang menarik dan kreatif sebagai ciri khas dari kegiatan pramuka sering
ditinggalkan. Akibatnya pendidikan pramuka tidak beda dengan pelajaran lain di
sekolah yang membosankan. Ini tentu menjadi tantangan bagi para Pembina
pramuka, untuk melakukan inovasi yang bisa menarik para siswa untuk mengikuti
kegiatan pramuka.
Memang harus diakui
bahwa kedudukan pendidikan pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler kurang
mempunyai otoritas untuk dipaksakan kepada para siswa, sehingga pendidikan
pramuka hanya menjadi tawaran kepada yang berminat. Di sisi lain, sekolah (kepala
sekolah dan guru) tidak semua paham
tentang arti dan manfaat kegiatan pramuka. Meskipun para guru, ketika mengikuti
pendidikan guru mungkin juga sudah mendapat pendidikan kepramukaan, tetapi
lebih banyak bersifat teoritis. Sementara pendidikan kepramukaan membutuhkan
kreatifitas para pendidik/pembina untuk mengembangkan model-model permainan yang menarik dan mendidik. Selain itu, pendidikan kepramukaan tidak
harus selalu di dalam kelas, tetapi justru akan lebih menarik jika dilakukan di
luar kelas (outdoor). Seperti dari
hasil wawancara dengan para siswa, kegitan pramuka macam apa yang paling
diminati adalah ketika camping/ berkemah.
Kiranya untuk
mengatasi persoalan krisis moralitas di kalangan generasi muda, pendidikan
pramuka bisa dijadikan sebagai alternative untuk diintegrasikan dalam kurikulum
sekolah, khususnya untuk SD dan SMP, sehingga bisa “diwajibkan” untuk semua
siswa. Meskipun demikian, para guru atau Pembina pramuka juga harus
mengembangkan berbagai model pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan,
sehingga menarik bagi anak-anak. Jika nilai-nilai dasa darma yang selama ini
menjadi pedoman perilaku pramuka bisa ditanamkan kepada para siswa SD, kiranya
akan menjadi landasan moral yang sangat kokoh bagi moralitas bangsa ke depan.
Saya yakin, bagi siapa saja yang berjiwa pramuka (Tri Satya dan Dasa Dharma)
mempunyai moralitas yang baik, yang tidak mudah tergoda dengan berbagai godaan
yang mengajak pada perilaku yang menyimpang dari norma sosial, norma moral dan norma
agama.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. 2005. ”Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 57/XXVIII/III/2005.
Blackburn,
Simon. 1994. The Oxford Dictionary of
Philosophy. London: Oxford University Press.
Corley,
Jack and Philip Thomas. 2000. The Urgent
Need for Character Education. Paper was
presented in Hyaat Regency Hotel Surabaua in May, 6, 2000.
Daoud
Joesoef. 2008. esensi pendidikan, (Kompas,
3 September 2008).
Featherstone,
M.; Lash, S. and Robertson, R. (ed). 1995. Global Modernities. London:
SAGE Publication.
SAGE Publication.
Gellner,
Ernest. 1994. Encounters With Nationalism. Cambridge: I3alckweel.
Haralambos
Michael and Holborn Martin. 2000.
Sociology Themes and Perspectives. Fifth edition. London:
Harper Collins Publishers Limited.
Hartoko,
Dick. ((ed.). 1985. Memanusiakan Manusia Muda. Yogyakarta: Kanisius.
Kurtines,
M. Wiliam and Cerwitz, L. Jacob (ed). 1992.
Moralitas, Perilaku Moral dan Perkembangan Moral. Terjemahan M.I. Soelaeman. Jakarta,
UI PRESS
Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesia: Sebuah
pertanggungan Jawab. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Yayasan Obor Indonesia.
Notonagoro, 1975. Pancasila Secara Ilmiah Populer.
Jakarta: pantjuran Tujuh.
Sartono,
K. 1993. Pembangunan Bangsa, tentang nasionalisme, kesadaran dan kebudayaan
Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.
Soetandyo,
W. 1999. Perubahan Kehidupan dan Lokal ke yang nasional, Bersiterus ke
yang Global pada Era Millenium Ketiga Masehi. Makalah disampaikan pada
acara Wisuda Ssarjana Strata 1 Universitas 45 Surabaya, pada tanggal 7
Desember 1999.
yang Global pada Era Millenium Ketiga Masehi. Makalah disampaikan pada
acara Wisuda Ssarjana Strata 1 Universitas 45 Surabaya, pada tanggal 7
Desember 1999.
Zurría, Nurul. 2007. Pendidikan Moral & Budi Pekerti
Dalam Perspektif Perubahan. Yakarta: Bumi Aksara.
[1] Tri Satya: demi
kehormatankau aku bersungguh-sungguh
menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan Yang maha Esa, Negara Kesatuan
Republic Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945;
Menolong sesame hidup dan ikut
serta membangun masyarakat; Menepati Dasa Dharma.
[2] Dasa Dharma:1) bertaqwa
kepada Tuhan YME; 2) Cinta alam dan kasih saying; 3) patriot yang sopan dan
kesatria; 4) patuh dan suka bermusyawarah; 5) rela menolong dan tabah; 6) rajin
trampil dan gembira; 7) hemat, cermat, dan bersahaja; 8) disiplin, berani, dan setia; 9)
bertanggungjawab dan dapat dipercaya; 10)
suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.
0 comments:
Post a Comment