Monday, June 16, 2014

Landasan Pendidikan dalam Bimbingan dan Konseling

0
     
Pada saat sekarang, mutu menjadi satu-satunya hal yang sangat penting dalam pendidikan.Kita semua mengakui saat ini memang ada masalah dalam sistem pendidikan. Lulusan pendidikan dasar,  pendidikan menengah dan pendidikan tinggi tidak siap memenuhi  kebutuhan masyarakat, apa lagi di era pasar bebas sangat dituntut adanya kemampuan daya saing untuk dapat bersaing dan bersanding dengan bangsa-bangsa lain dalam tataran nasioanl dan internasional. Zaman terus berubah dan setiap bidang kehidupan semakin memiliki saling ketergantungan satu sama lain di dalam suatu sistem yang integral. Oleh karena itu, pembangunan pendidikan haruslah semakin berorientasi keluar (outward looking) karena sistem pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem yang lebih luas yaitu sistem sosio-ekonomi yang kompleks yang harus dihadapi oleh setiap anggota masyarakat sesuai dengan sistem ketahanan nasional yang dimiliki oleh Masyarakat.
                  Mutu pendidikan adalah karakteristik yang harus melekat pada sistem pendidikan. Kemampuan meningkatkan mutu harus dimiliki oleh sekolah sebagai suatu sistem yang otonom tanpa tergantung pada atau dikendalikan oleh pihak luar, termasuk pemerintah. Peningkatan mutu erat kaitannya dengan kreativitas pengelola satuan pendidikan dan guru dalam pengembangan kemampuan belajar siswa. Dalam dunia pendidikan, proses pendidikan yang bermutu mengacu pada kemampuan lembaga pendidikan dalam mengintegrasikan, mendestribusikan, mengelola, dan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal sehingga dapat meningkatkan kemampuan belajar lulusannya (Ace Suryadi dan Tilaar, 1993:163).
 Mutu pendidikan adalah kemampuan setiap satuan lembaga pendidikan dalam mengatur dan mengelola sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar. Mutu pendidikan akan tercermin dalam tingginya hasil belajar yang dicapai oleh siswa, namun proses pendidikan yang bermutu tidak berarti harus secara langsung mengajarkan pengetahuan. Prestasi belajar tinggi seyogyanya dihasilkan dari meningkatnya kemampuan siswa yang tinggi untuk belajar secara berkelanjutan atau mampu belajar sepanjang hayat (life-long learning). Mutu pendidikan ditentukan oleh dua kemampuan sekolah, yaitu kemampuan sekolah secara teknis kependidikan dan kemampuan dalam bidang pengelolaan. Prestasi belajar siswa dilahirkan dari kemampuan sekolah untuk mengelola suasana sekolah yang kondusif untuk siswa agar dapat belajar sebanyak mungkin melalui kegiatan belajar mandiri dan berkelanjutan. Prestasi belajar siswa dapat berkembang melalui pelatihan, penanaman disiplin serta pembiasaan dalam menerapkan kemampuan dasar untuk belajar secara sistematis dan berkelanjutan.
Pendidikan di sekolah tidak hanya dilakukan melalui proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru mata pelajaran, pelatihan  yang dilakukan oleh guru praktik, tetapi juga kegiatan konseling yang dilakukan oleh konselor untuk membantu individu dalam mencari dan menetapkan pilihan serta mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kehidupan belajar, perencanaan dan pengembangan karir, serta kehidupan keberagamaan. Mutu pendidikan di sekolah  akan dapat diwujudkan bilamana dilaksanakan oleh guru mata pelajaran, guru praktik, dan konselor yang kompeten dan profesional yang mampu mengelola proses pendidikan secara profesional. Artinya, mampu mentransformasikan kemampuan profesional yang dimilikinya ke dalam tindakan yang nyata didasarkan kepada pelayanan keahlian dalam mengelola pendidikan, baik pelayanan dalam pembelajaran, pelatihan, maupun konseling terhadap peserta didik yang menjadi
tanggungjawabnya di sekolah.
Mutu pendidikan akan dapat diwujudkan bilamana pendidikan dilaksanakan secara tuntas. Pendidikan yang tuntas  mengakui dan bahkan menekankan kemampuan manusia untuk bertanggung jawab.
Pendidikan yang tuntas bertopang pada kejelasan norma, memiliki garis lurus yang membimbing pemikiran dan tindakan pendidikan, sehingga karena kejelasan dasar, tujuan, dan garis pembimbingnya, kewaswasan dalam bertindak itu dapat dihindari. Pendidikan yang bagaimana yang 
memiliki kualifikasi tersebut? Dapatlah ilmu dan teknologi dijadikan penglima tertinggi dalam menciptakan pendidikan tuntas? Ilmu dan teknologi telah mencoba kearah itu dan sebegitu jauh telah memberikan kenyamanan hidup kepada umat manusia dewasa ini. Memang ilmu telah memberdayakan manusia, tetapi secara moral ia tetap lemah.
Apakah hidup kita harus diabdikan sekadar untuk mendapatkan kenyamanan sepintas? Apa lagi kalau diingat bahwa ilmu selalu bersikap skeptis terhadap kebenaran? Bukankah kebenaran dipandangnya bersifat tentatif hipotetis? Bila demikian, maka melalui ilmu dan teknologi tidak
akan didapat dasar dan arah yang jelas serta bimbingan perbuatan yang tuntas.
 Mengapa perlu pendidikan yang tuntas dalam arti pendidikan yang mendapat tuntunan dari Atas, yaitu Allah SWT? Memang hanya dengan pendidikan yang tuntas kita dapat mengupayakan tercapainya manusia yang merealisasikan hidup takwa selaku manusia utuh. Pengertian utuh
hendaknya diartikan sebagai lengkap, tiada cela, sehingga menampilkan pendirian yang kokoh dan mantap, bertolak dari niat yang ikhlas, bertindak secara selaras dengan jalan yang lurus, memperhatikan rangkaian perilaku yang sinkron, taat asas dalam usaha mencapai ridla Allah SWT.
Manusia yang utuh menurut pandangan tuntas, mencerminkan manusia kaffah, dalam arti satu niat, ucap, pikir, perilaku, dan tujuan yang  direalisasi dalam hidup bermasyarakat. Satu niat, ucap, pikir, perilaku, dan tujuan itu, akan membebaskan manusia dari konflik diri yang dapat mengarah kepada kepribadian terbelah. Untuk mewujudkan pendidikan yang tuntas, kita perlu menciptakan situasi dan iklim pendidikan yang serasi dengan tujuan pendidikan. Bukankah sikap takwa akan lebih subur 
berkembang dalam iklim hidup religius? Iklim tersebut akan tercipta oleh manusia itu sendiri, manusia pula yang menyambut iklim dan situasi untuk berperilaku tertentu, tapi pada akhirnya kemampuan  manusia pun terbatas.
 Dalam pelaksanaannya, pendidikan yang tuntas tidak  hanya didasarkan pada  pelayanan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru mata pelajaran dan layanan pelatihan yang dilakukan oleh guru praktik, tapi juga pada pelayanan   konseling yang dilakukan oleh  konselor sekolah. Melalui layanan konseling, konselor akan membantu terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengatasan masalah agar  peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia.
Perubahan global tidak hanya menyangkut kualifikasi persyaratan orang untuk memasuki suatu pekerjaan tetapi juga pada waktu yang bersamaan muncul disorientasi personal dan ketidaktepatan orang dalam menempati suatu pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini proses belajar sepanjang hayat
(lifelong learning) dan belajar sejagat hayat (lifewide learning) akan menjadi determinan eksistensi dan ketahanan hidup manusia.  Lifelong learning adalah proses dan aktivitas yang terjadi dan melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari karena dia selalu diperhadapkan kepada lingkungan yang selalu berubah yang menuntut dia harus menyesuaikan, memperbaiki, mengubah dan meningkatkan mutu perilaku untuk dapat memfungsikan diri secara efektif di dalam lingkungan. Proses belajar
sepanjang hayat itu terjadi secara terpadu, menyangkut seluruh aspek kehidupan, terjadi keterpaduan antara belajar, hidup, dan bekerja yang satu sama lain tak dapat dipisahkan melainkan terjadi secara bersinergi (lifewide learning).
Dalam konteks kecenderungan sosial dan ekonomi yang terjadi pada masyarakat global, muncul masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge base society) sebagai suatu learning society yang memerlukan pendidikan dan latihan dalam sistem belajar sepanjang hayat, yang menawarkan
kepada setiap warga masyarakat suatu fasilitas belajar untuk beradaptasi kepada pengetahuan dan keterampilan mutakhir. Masalah-masalah yang tampak sebagai masalah sosial, ekonomi, dan politik bukanlah semata-mata masalah sosial, ekonomi, politik itu sendiri melainkan masalah-masalah kemanusiaan yang harus didekati dari sisi kemanusiaan.
Masyarakat yang berorientasi kemanusiaan ini menghendaki persyaratan nilai, sikap, kebijakan, dan tindakan untuk memperluas akses masyarakat kepada seluruh jenjang pendidikan, membuat manusia  mampu memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di dalam pendidikan dan dunia kerja. UNESCO menganggap bahwa hal ini akan tercapai melalui pengembangan keterampilan untuk semua (life development for all), tidak ekslusif dan menjadikan pendidikan dan latihan sebagai hak asasi manusia yang dapat diakses.
 Pendidikan holistik semacam ini memadukan persiapan hidup dan dunia kerja yang mencakup seluruh domain belajar yang memadukan pendidikan umum dan kejuruan dalam sebuah kontinum  pengetahuan, nilai, kompetensi, dan keterampilan. Dalam pandangan seperti ini konseling menempati peran krusial untuk membantu manusia mampu memenuhi kebutuhan belajar baru dan memberdayakan manusia untuk memperoleh keseimbangan hidup, belajar, dan bekerja. Untuk mencapai tujuan ini UNESCO melihat bahwa konseling, terutama konseling karir adalah hal yang paling penting untuk seluruh peserta didik dan perannya diperluas untuk mempersiapkan peserta didik dan orang dewasa menghadapi perubahan dunai kerja. Dalam perspektif  ini konseling menjadi suatu proses sepanjang hayat yang menyertai proses belajar sepanjang hayat dalam segala jalur, setting, jenjang dengan segala tantangan dan kendalanya.
A European Guidance Forum/Lifelong Guidance Group (IAEVG, 2002) menegaskan bahwa: “Lifelong learning, guidance and counseling, education, training and employment are continuously intersecting cycles and systems in the lives of the European citizen. Information, guidance and counseling have a key role to play in facilitating access, progression and transitions between
these cycles and systems over an individual’s lifetime. Lifelong guidance provision requires the active co-operation if education, training and employment bodies both at national and European levels in order to make the lifelong learning principle reality”. These are the words of the European Commission. It continues: ‘Information, guidance and counseling have been identified as a key
strategic component for implementing a lifelong learning policy8”
Belajar sepanjang hayat dan sejagat hayat menjadi strategi belajar masyarakat global karena beberapa alasan, terutama  dalam (a) memeliharan keberlanjutan akses terhadap belajar untuk menambah dan
memperbaharui pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk keberlangsungan partisipasi dalam masyarakat berbasis pengetahuan, (b) meningkatkan investasi sumberdaya manusia, (c) membangun masyarakat inklusif yang memberi peluang yang sama untuk memperoleh akses belajar yang bermutu, (d) mencapai jenjang pendidikan dan kualifikasi vokasional yang lebih tinggi, dan (e) mendorong masyarakat untuk berperan aktif di dalam kehidupan publik, sosial, dan politik.
 Dari perspektif konseling, kunci dasar untuk mencapai tujuan ini adalah perpektif baru tentang konseling yang berorientasi  pada kemudahan individu dalam mengakses informasi bermutu tentang kesempatan belajar, memberikan bantuan pribadi untuk mengintegrasikan hidup, belajar, dan bekerja, menumbuhkembangkan individu sebagai pribadi, profesional, dan warga negara yang self motivated. Dalam perspektif ini, konseling menjadi layanan yang dapat diakses secara berkelanjutan oleh seluruh lapisan masyarakat, berorientasi holistik, mampu menyediakan layanan dalam rentang kebutuhan yang lebar dan bervariasi, termasuk orang-orang yang tak beruntung dan berkebutuhan khusus.
 Konseling tidak hanya dipelajari sebagai seperangkat teknik, melainkan sebagai kerangka berpikir dan bertindak yang bernuansa kemanusiaan dan keindividuan. Nuansa dimaksud akan lebih tampak pada masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) yang menempatkan orientasi kemanusiaan dan belajar sepanjang hayat sebagai  central feature kehidupan masyarakat masa kini dan yang akan datang. Proses pendidikan tidak lagi sebagai proses parsial, melainkan sebagai proses 
holistik yang memadukan persiapan hidup dan dunia kerja yang mencakupi seluruh domain belajar, yang memadukan pendidikan umum dan kejuruan sebagai suatu kontinum pengetahuan, ilai,kompetensi,dan keterampilan. Dalam perspektif ini,konseling memiliki peran membantu
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan belajar baru dan memberdayakan mereka dalam memperoleh keseimbangan hidup, belajar,dan bekerja.
Konseling menjadi proses sepanjang hayat (lifelong  counseling) yang dapat diakses secara berkelanjutan oleh seluruh lapisan masyarakat, berorientasi holistic, mampu menyediakan layanan dalam rentang yang lebar dan bervariasi, termasuk kelompok masyarakat yang beruntung.
 Proses pendidikan mencakup usaha yang secara sadar  dan intensional bertujuan untuk secara terus menerus meningkatkan dan/atau memperbaiki kondisi sasaran pendidikan untuk bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Kerangka konseling seperti ini berfifat holistik yang menyatupadukan hakikat kemanusiaan, wawasan dan keilmuan, keterampilan, nilai serta sikap dalam pelayanan. Pendekatan pelayanan konseling bergeser dari  supply-side ke  demand-side dengan melakukan
upaya proaktif kepada masyarakat yang menjadi target layanan, menggunakan berbagai sumber dan teknologi informasi untuk memperkaya peran profesional, mengembangkan manajemen informasi
dan jaringan kerja konselor, serta memanfaatkan berbagai jalur dan settting layanan. Profesi konseling harus senantiasa terbuka untuk berkembang selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta tuntutan lingkungan akademis dan profesional, sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi dunia pendidikan nasional dan kehidupan manusia pada umumnya.
Profesi konseling merupakan keahlian pelayanan pengembangan pribadi dan pemecahan masalah yang mementingkan pemenuhan kebutuhan dan kebahagiaan pengguna sesuai dengan martabat, nilai, potensi, dan keunikan individu berdasarkan kajian dan penerapan  ilmu dan teknologi dengan acuan dasar ilmu pendidikan dan psikologi yang dikemas dalam kaji-terapan konseling yang diwarnai oleh budaya (termasuk di dalamnya nilai dan norma) Indonesia. Dengan demikian pelayanan konseling di
Indonesia dikembangkan dan dilaksanakan dengan paradigma konseling adalah  pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam budaya Indonesia. Konseling memiliki bidang singgung antara psikologi, pendidikan, dan budaya, terutama berkenaan dengan segi isi dan muatan nilai yang perlu diperhatikan. Dengan paradigma ini para pelaksana konseling perlu menguasai berbagai materi psikologi (psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi kepribadian, psikologi pendidikan, psikologi sosial), materi pendidikan (dasar-dasar pendidikan, kurikulum pendidikan, belajar dan pembelajaran, penilaian pendidikan, pengelolaan pendidikan), serta materi budaya dan konseling lintas budaya.
Materi psiko-pendidikan “dikemas” dalam ilmu dan teknologi konseling dengan warna budaya Indonesia. Bidang konseling yang perlu dikuasai meliputi (1) dasar-dasar keilmuan konseling (pengertian, tujuan, fungsi, asas, prinsip, dan landasan konseling); (2) bidang  konseling ( pribadi,
sosial, belajar, dan karir); (3) jenis-jenis layanan ( orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, mediasi, dan konsultasi); (4) kegiatan pendukung : aplikasi instrumentasi, himpunan data, konfersi kasus, kunjungan rumah, dan alih tangan kasus); dan  (5) profesionalisasi konseling.
Konselor baik di sekolah maupun di luar sekolah,harus memahami bahwa pelayanan konseling yang diselenggarakannya memiliki muatan unsur yang bersifat psikologi, pendidikan,dan budaya. Ketiganya terpadukan dalam kegiatan konseling. Apabila salah satu atau lebih unsur-unsur itu
terabaikan, maka kegiatan konseling kehilangan jati dirinya sebagai pelayanan konseling yang cocok di Indonesia.
Konseling sangat dekat dengan psikologi,bahkan sebagian besar muatan konseling sebagai suatu ilmu bersumber dari psikologi. Psikologi sebagai ilmu pendukung yang paling pokok dalam onseling,bantuan yang demikian disebut bantuan psikologi.Psikologi dalam  konseling berarti
memberikan pemahaman tentang tingkah laku dan perkembangan individu menjadi sasaran layanan (individu atau klien). Ini sangat penting karena bidang garapan konseling adalah tingkah laku dan perkembangan individu,yaitu tingkah laku yang perlu diubah atau  dikembangkan secara optimal. Setiap individu yang berkembang harus menyelesaikan tugas-tugas perkembangan itu apabila ia hendak dikatakan  sebagai individu yang bahagia dan sukses.
Selain itu konseling didukung ilmu pendidikan karena individu yang terlibat di dalamnya menjalani proses belajar, dan kegiatan  tersebut bersifat normative, obyektif, dan berorientasi pemecahan masalah. Bersifat normative, yaitu dengan sengaja membantu individu berkembang ke arah baik dan benar yang diwujudkan dalam perubahan perilaku. Ilmu pendidikan sebagai ilmu normative memiliki landasan-landasan ilmiah dan menggunakan metode-metode ilmiah di dalam mewujudkan fungsi
keilmuannya, yaitu fungsi mempelajari dan membawa individu untuk mencapai tujuan yang iinginkan. Bersifat obyektif yaitu mempelajari apa adanya tentang individu sebagai suatu organisma yang sedang berkembang dan berbagai factor yang terkait dengan perkembangannya. Berorientasi pemecahan masalah baik dalam tataran obyektif (dalam proses mempelajari) maupun dalam tataran normative  (dalam proses membawa). Orientasi masalah dalam tataran obyektif  terfokus kepada
persoalan apa dan mengapa individu berada dalam kondisi demikian,dan orientasi masalah pada taran normative terkait dengan bagaimana mengembangkan, mengubah, dan memperbaiki kondisi tersebut. Pelayanan konseling harus didasarkan norma-norma yang berlaku, baik isinya, prosesnya, tekniknya, maupun instrumentasinya yang dipergunakannya. Pelayanan yang tidak normative bukanlah pelayanan konseling. Konseling yang dimaksud disini merupakan pelayanan bantuan
yang berakar pada budaya kita, dan mempunyai landasan ilmiah psikologi dan pendidikan.
 Teori pendidikan adalah pengetahuan tentang makna dan bagaimana seyogyanya pendidikan itu dilaksanakan,sedangkan praktek adalah tentang pelaksanaan pendidikan secara konkretnya nyatanya). Praksis pendidikan adalah bidang kehidupan dan kegiatan praktis pendidikan.
Kedua jenis seyogyanya tidak dipisahkan, sebaiknya  siapa yang berkecimpung dalam bidang endidikan perlu menguasai keduanya. Teori mengandaikan praktek dan praktek berlandaskan teori.
 Pendidikan dipandang bukan semata-mata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi juga untuk kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju  tingkat kedewasaannya. Pendidikan tidak dipandang hanya sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan  keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan.  Konseling sangat signifikan sebagai salah satu upaya pendidikan untuk membantu individu yang sedang dalam proses perkembangan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan dan tuntutan lingkungan. Hakikat pendidikan sebagai pembangunan nasional, pemberdayaan dan pembudayaan manusia, upaya pengembangan kemampuan manusia, dan sebagai investasi sumber daya manusia. Dalam pelaksanaannya, pendidikan yang tuntas tidak hanya didasarkan pada  pelayanan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru mata pelajaran dan layanan pelatihan yang dilakukan oleh guru praktik, tapi juga pada pelayanan  konseling yang dilakukan oleh konselor sekolah. 
Melalui layanan konseling, konselor akan membantu terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengatasan masalah agar  peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia.
Read More

background

0

Read More

Pendidikan dan Bimbingan Konseling

0

         Konseling sebagai bagian integral dari sistem pendidikan di sekolah memiliki peranan penting berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Pendidikan dapat memanfaatkan konseling sebagai mitra kerja dalam melaksanakan tugasnya sebagai rangkaian upaya pemberian bantuan (Dahlan,1988:22). Konseling menyediakan unsur-unsur di luar individu yang dapat dipergunakan untuk memperkembangkan diri (Crow & Crow, 1960). Mengacu kepada pernyataan tersebut, dalam arti luas konseling dapat dianggap sebagai bentuk upaya pendidikan, dan dalam arti sempit konseling dapat dianggap sebagai teknik yang memungkinkan individu menolong dirinya sendiri. Perkembangan dan kemandirian individu dipentingkan dalam proses konseling yang sekaligus merupakan proses pendidikan. Untuk dapat berkembang dengan baik dan mandiri, individu memerlukan pengetahuan dan keterampilan, jasmani dan rohani yang sehat, serta kemampuan penerapan nilai dan norma-norma hidup kemasyarakatan.
              Integrasi konseling dalam pendidikan juga tampak dari dimasukkannya secara terus menerus program-program konseling ke dalam program-program sekolah (Belkin,1975; Borbers & Drury,1992); konsep-konsep dan praktek-praktek konseling merupakan bagian integral upaya pendidikan (Mortensen & Schmuller,1964). Kegiatan konseling akan selalu terkait dengan pendidikan, karena keberadaan konseling dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya pendidikan itu sendiri. Konseling merupakan proses yang menunjang  pelaksanaan pendidikan di sekolah (Rochman Natawidjaja, 1978:30), karena program-program konseling meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya menyangkut kawasan kematangan pendidikan  dan karir, kematangan personal dan emosional, serta kematangan sosial. Hasil-hasil konseling pada kawasan itu menunjang keberhasilan pendidikan yang bermutu pada umumnya. Dalam keadaan tertentu konseling dapat dipergunakan sebagai metode dan alat untuk mencapai tujuan program pendidikan di sekolah.  Konseling yang dilakukan oleh konselor sebagai bentuk upaya pendidikan, karena kegiatan konseling selalu terkait dengan pendidikan dan keberadaan konseling di dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya pendidikan itu sendiri. Dahlan (1988:22) menyatakan bahwa konseling tidak dapat lepas dan melepaskan diri dari keseluruhan rangkaian pendidikan.. Konseling sebagai upaya pendidikan memberikan perhatian pada proses, yaitu cenderung memperhatikan tugasnya sebagai rangkaian upaya pemberian bantuan pada anak mencapai suatu tingkat kehidupan yang berdasarkan pertimbangan normative,  antropologis (memperhatian anak selaku manusia) dan sosio kultural. Dengan demikian, konseling tidak mungkin melepaskan diri dari keseluruhan rangkaian pendidikan. Dengan perkataan lain, pendidikan dapat memanfaatkan konseling sebagai mitra kerja dalam melaksanakan tugasnya  Secara fungsional, konseling sangat signifikan sebagai salah satu upaya pendidikan untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap-tahap perkembangan dan  tuntutan lingkungan. Konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam kehidupan yang memiliki berbagai wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat berkenanaan dengan diri sendiri dan lingkungan. Konseling merupakan proses yang menunjang pelaksanaan program pendidikan di sekolah, karena program-program konseling meliputi aspek-aspek perkembangan individu, khususnya menyangkut kawasan kematangan pendidikan, kematangan karir, kematangan persona dan emosional, serta kematangan sosial.
Hasil konseling dalam kawasan ini menunjang keberhasilan pendidikan umumnya.
              Pendidikan sebagai  proses interaksi, selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berkembang dalam proses menjadi.
Pendidikan bertugas membantu manusia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi, dan mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan merupakan proses yang bersifat individual sehingga strategi pendidikan harus dilengkapi dengan strategi khusus yang lebih intensif dan menyentuh dunia kehidupan secara individual. Strategi ini dapat memperhalus, menginternalisasi, dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola perilaku yang dipelajari lewat proses pendidikan secara umum (Kartadinata,1987:104). Bentuk strategi khusus ini dapat ditemukan dalam kegiatan konseling baik konseling individual maupun kelompok yang dilakukan oleh konselor profesional yang mempunyai  kemampuan untuk
mewujudkan tujuan.
     Intervensi konseling dalam merealisasikan fungsi pendidikan akan terarah kepada upaya membantu individu yang dapat dilakukan melalui konseling untuk memperhalus, menginternalisasi, memperbaharui dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola perilaku yang mandiri. Dalam proses konseling amat mungkin diperlukan dan digunakan berbagai metode dan teknis psikologis untuk memahami dan mempengaruhi perkembangan perilaku individu, dengan tetap berstandar dan terarah kepada pengembangan manusia sesuai dengan hakikat eksistensinya. Konseling mengemban tanggung jawab untuk membantu individu mampu menyesuaikan diri terhadap dinamika dan kehidupan sosial.
                Hakikat manusia dengan segenap dimensi kehidupan manusia yang perlu dikembangkan, yaitu dimensi spiritual dan psikologis, sosio-emosional, fisik, serta segenap tujuan dan tugas kehidupan menjadi landasan bagi konsepsi dan penyelenggaraan konseling. Manusia adalah segala-galanya bagi pelayanan konseling. Ini berarti bahwa hakikat tujuan konseling harus bertolak dari sistem nilai dan kehidupan yang menjadi rujukan manusia yang ada dalam sistem kehidupan tersebut. Teori dan konsep konseling yang didasarkan pada sistem kehidupan sosial dan budaya tertentu belum tentu berlaku bagi sistem kehidupan sosial dan budaya lain, untuk itu diperlukan perspektif sosiologis tentang hakikat tujuan konsling dan kehidupan individu yang hendak dilayani.
                Keberadaan konseling dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia dijalani melalui proses panjang sejak kurang lebih  48 tahun yang lalu. Pada saat ini keberadaan pelayanan konseling dalam setting pendidikan, khususnya persekolahan, telah memiliki legalitas yang kuat dan menjadi bagian terpadu dari sistem pendidikan nasional. Pelayanan konseling telah mendapat tempat di semua jenjang pendidikan mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Pengakuan ini terus mendorong perlunya tenaga profesional yang secara khusus dipersiapkan untuk menyelenggarakan layanan konseling. Secara eksplisit telah ditetapkannya:

a. Pelayanan bimbingan dan konseling sebagai salah  satu layanan pendidikan yang harus diperoleh semua peserta didik telah termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.

b. ”Konselor” sebagai salah satu jenis tenaga kependidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab I pasal 1 butir  6 dinyatakan bahwa “pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”.

c. Pelayanan konseling yang merupakan bagian dari kegiatan pengembangan diri telah termuat dalam struktur kurikulum yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22  Tahun 2006 tentang Standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Menengah.

d. Beban kerja Guru bimbingan dan konseling atau konselor pada Pasal 54 ayat (6) Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang menyatakan bahwa beban kerja Guru bimbingan dan konseling atau konselor yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150 (seratus lima puluh) peserta didik per tahun pada satu atau lebih satuan pendidikan. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 54 ayat (6) yang dimaksud dengan “mengampu layanan bimbingan dan konseling” adalah pemberian perhatian, pengarahan, pengendalian, dan  pengawasan kepada sekurang-kurangnya 150 (seratus lima puluh) peserta didik, yang dapat dilaksanakan dalam bentuk pelayanan tatap muka terjadwal di kelas dan layanan perseorangan atau kelompok bagi yang dianggap perlu dan memerlukan.

e. Penilaian kinerja Guru bimbingan dan konseling (konselor) pada Pasal 22 ayat (5) Peraturan bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 03/V/PB/2010 dan Nomor 14 tahun 2010 tentang petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya dinyatakan bahwa penilaian kinerja Guru bimbingan dan konseling (konselor) dihitung secara proporsional berdasarkan beban kerja wajib paling kurang 150 (seratus lima puluh) orang siswa dan paling banyak 250 9dua ratus lima puluh) orang siswa per tahun.

 f. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik  dan Kompetensi Konselor, yang  menyatakan bahwa kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal adalah: (i) sarjana pendidikan (S-1) dalam bidang bimbingan dan konseling ; (ii) berpendidikan profesi konselor. Kompetensi konselor meliputi kompetensi pedagogik,  kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional, yang berjumlah 17 kompetensi dan 76 sub kompetensi.
               Berbagai upaya kearah profesionalisasi konseling telah banyak dilakukan dan telah membawa profesi konseling khususnya dalam setting pendidikan persekolahan lebih baik dari sebelumnya. Perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju dan dalam rentang diversifikasi kebutuhan yang amat luas menuntut profesi konseling untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat tersebut.
Pada tatanan masyarakat dewasa ini pelayanan konseling tidak hanya dibutuhkan dalam setting pendidikan persekolahan tetapi juga dalam setting kehidupan masyarakat luas.Profesi konseling menjadi makin kokoh dan kepercayaan public (public trust) akan segera dapat diwujudkan dengan didukung oleh konselor sebagai tenaga profesional dengan mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.


Read More

Hakikat Pendidikan dalam Konteks Pembangunan Nasional

0
Hakikat Pendidikan

a. Hakekat Pendidikan dalam Konteks Pembangunan Nasional
     Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.  Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan taraf kesejahteraan kehidupan manusia merupakan bagian dari pembangunan nasional. Inti dari pada pembangunan pendidikan nasional ialah upaya pengembangan sumber daya manusia unggul dalam
rangka mempersiapkan masyarakat dan bangsa kita menghadapi millenium ketiga sebagai era yang kompetitif.
Hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi:
(1) pemersatu bangsa,
(2) penyamaan kesempatan, dan
(3) pengembangan potensi diri.
          Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memberi kesempatkan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan  memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.
          Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Misi pendidikan nasional adalah :
 (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
(2) meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing  di tingkat nasional, regional, dan internasional;
(3) meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global;
(4) membantu dan menfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
(5) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan  untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
(6) meningkatkan eprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global; dan
(7) mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Hakekat  Pendidikan sebagai Proses Pembudayaan dan Pemberdayaan Manusia
           Esensi dari pendidikan merupakan usaha untuk memajukan dan mengembangkan kecerdasan, kepribadian, dan fisik peserta didik. Dengan demikian keberhasilan suatu proses pendidikan sangat tergantung pada sejauh mana berkembangnya kecerdasan, kepribadian dan fisik tersebut dapat dicapaui bersama-sama. Tinggi dan rendahnya perkembangan dan pertumbuhan ketiga mantra tersebut sangatlah menentukan tingkat keberhasilan proses pendidikan bagi peserta didik, di sisi lainnya kebersamaan berkembang dan bertumbuhnya ketiga mantra juga menjadi faktor penentu.
           Pendidikan adalah proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang menuju kepribadian mandiri untuk dapat membangun diri sendiri dan masyarakat. Proses pembudayaan dan pemberdayaan berlangsung sepanjang hayat, dimana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan  kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya  pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.                Paradigma pengajaran lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia  yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memeliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirnya, masyarakat, bangsa dan negara.
            Pendidikan adalah pemberdayaan bagi manusia didik dalam menghadapi dinamika kehidupan baik masa kini maupun masa yang  akan datang, maka pemahaman tentang kemanusiaan secara utuh merupakan keniscayaan. Sebaliknya, jika pengertain dan pemahaman terhadap pendidikan kurang tepat tentu akan melahirkan konsep dan praktik pendidikan yang juga kurang proporsional.
             Memahami manusia bukan pekerjaan yang mudah. Perbincangan tentang manusia itu sendiri juga dinamis, berkembang dari waktu ke waktu sesuai perkembangan peradaban yang tak pernah usai. Karena pemahaman manusia yang terus berkembang maka pendidikan itu sendiri harus dinamis. Ada beberapa prinsip yang bisa menjelaskan tentang manusia bagi kepentingan pendidikan, yang diurai sebagai berikut:
          Pertama, manusia memiliki sejarah. Manusia adalah mahluk yang mampu melakukan self reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian dan perenungan. Perenungan merupakan koreksi terhadap masa lalu untuk sebuah kombinasi baru di masa depan.
             Kedua, manusia adalah mahluk dengan segala individualitasnya. Artinya, masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Penyelenggara pendidikan harus memaham hal-hal seperti itu. Jika prinsip individualitas tidak dipahami maka yang terjadi adalah kesenjangan dan ketimpangan.
              Ketiga, manusia selalu membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Eksistensi manusia adalah eksistensi bersama. Hubungan sosial antar-manusia ini mengandaikan hubungan dua subyek yang saling meminta supaya diterima dengan senang hati yang jujur dan baik. Oleh karenanya, hubungan dasar antara dua subjek merupakan hubungan keadilan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya sendiri.
              Keempat, manusia mengadakan hubungan juga dengan alam sekitarnya.
Kesadaran manusia menyatakan bahwa ketersediaan alam belum semuanya cocok untuk memenuhi kebutuhan manusia. Oleh sebab itu, manusia perlu kerja, dengan kerja, manusia telah mengatasi jarak antara dirinya dengan alam. Kerja tidak hanya mengangkat alam ke dalam tataran manusiawi, tetapi juga membantu manusia menemukan kesosialannya. Kerja membantu manusia mewujudkan dirinya sebagai pribadi, disamping dengannya manusia bias mendidik  diri, menyuarakan kebebasan, dan otonomi. Kerja yang dimaksud di sini merupakan perbuatan mencipta dengan tetap mengandung dimensi  manusiawi. Ia merupakan gabungan budi dan rasa yang berdaya menafsirkan dunianya.
              Kelima, manusia dalam kebebasannya mengolah alam pikir dan rasa telah menemukan Yang Transendental. Hubungan antara manusia dengan Tuhan yang terlembagakan dalam kepercayaan atau iman merupakan terobosan manusia, keluar dari eksistensi empirisnya yang terbatas menuju sumbernya yang pertama dari eksisten dirinya dan dunia.  Hubungan ini dapat tersele nggara hanya dengan kontemplasi, dan oleh agama direalisasikan melalui doa-doa, kebaikan-kebaikan, dan kesalehan.  
               Kelima prinsip kemanusiaan sebagaimana tersebut di  atas itulah yang menjadi titik tolak dalam Penyelenggaraan pendidikan. Dengan memahami esensi dari prinsip kemanusiaan maka penyelenggaraan pendidikan akan berjalan dengan baik.  Proses pendidikan harus mampu menyentuh dan mengendalikan berbagai aspek perkembangan manusia. Terkandung makna di sini bahwa melalui proses pendidikan diharapkan manusia berkembang kearah bagaimana  dia harus menjadi dan berada. Jika pendidikan ini dipandang sebagai suatu upaya untuk menjadi manusia menjadi apa yang bias diperbuat dan bagaimana dia harus menjadi dan berada, maka pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Pendidik perlu memahami manusia dalam hal aktualisasinya, kemungkinannnya, dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat  diharapkan terjadi dalam diri manusia.
               Pendidikan bila di tinjau dari konteks kebudayaan,  maka pendidikan dimaknai sebagai proses pembudayaan peserta didik. Budaya itu sendiri merupakan buah keadaban manusia. Selanjutnya melalui proses pendidikan, peserta didik dituntun menjadi manusia  yang makin beradab dan berahlak. Adalah keliru apabila peserta didik yang diberi pendidikan justru menjadi manusia yang tidak beradab dan tidak berakhlak. 
               Budaya atau kebudayaan (culture) adalah pandangan hidup sekelompok orang (Berry dkk,1999) yang meliputi tradisi, kebiasaan, nilai-nilai, norma, bahasa, keyakinan, dan berpikir yang telah terpola  dalam suatu masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi serta memberikan identitas pada komunitas`pendukungnya (Prosser, 1978). Dipandang dari persepktif budaya, situasi pendidikan adalah sebuah “perjumpaan cultural” (cultural encounter) antara pendidik dengan peserta didik. Implikasi dari pendidikan adalah proses belajar, transferensi dan  kaunter transferensi, serta saling menilai. Hal ini menuntut pendidik untuk perlu memiliki kepekaan budaya untuk dapat memahami dan membantu peserta didik. Pendidik yang demikian adalah pendidik yang menyadari benar bahwa secara kultural, individu memiliki karakteristik yang unik dan ke dalam proses pendidikan ia membawa serta kerakteristik tersebut.
             Upaya untuk memiliki kepekaan budaya adalah, pendidik perlu mempunyai pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya di luar budayanya  sendiri, khususnya berkenaan dengan latar belakang budaya peserta didik di Indonesia.
 Pada dasarnya pendidikan sebagai proses kebudayaan (cultural process) bagi setiap peserta didik. Dalam konteks pendidikan sebagai proses pembudayaan maka setiap pendidikan itu berlangsung  senantiasa harus dilakukan dengan pendekatan budaya. Apabila pendidikan tidak dilakukan dengan pendekatan budaya maka hanya akan melahirkan orang-orang yang tidak beradab. Proses pendidikan harus berpusat pada peserta didik (student centered), bukan pada pendidik atau orang lain yang menjadi bagian dari proses pendidikan tersebut. Ketika proses pendidikan akan dilangsungkan, maka pertama kali yang harus diperhatikan oleh siapa saja yang terlibat dalam proses pendidikan ialah kesiapan peserta didik, sejauh mana tingkat kecerdasannya, bagaimana kepribadiannya, serta bagaimana kondisi tubuhnya. Bahwasannya kesiapan pendidikan media lingkungan juga sangat penting akan tetapi semua itutidak dapat menggeser keutamaan peserta didik. Bahwa pendidikan itu juga sering diartikan sebagai suatu proses pengabdian kepada sang anak, hal itu menunjukkan bahwa demikain penting dan strategisnya posisi peserta didik dalam proses pendidikan itu sendiri.
                Muara dari upaya pendidikan adalah upaya membangun atau menumbuh kembangkan potensi peserta didik, atau dengan kata lain pendidikan akan selalu berpusat pada peserta didik. Karena pendidikan tersebut harus berpusat pada peserta didik maka dalam prosesnya harus berpedoman pada keinginan, gagasan dan juga kreativitas peserta didik (tut wuri handayani).
              Oleh karena  setiap anak memiliki kecerdasan dasar,kepribadian dasar, dan kondisi tubuh yang berbeda maka dalam pengembangannya disesuaikan pada keinginan, gagasan dan kreativitas masing-masing peserta didik. Hanya saja manakala ditemui keinginan, gagasan, dan kreativitas yang tidak mendidik barulah pamong atau pendidik memberikan bimbingannya. Hal ini menuntut  pendidik harus pandai-pandai menyesuaikan peserta didik, dan bukan peserta didik yang harus menyesuaikan pendidiknya.
               Upaya pendidikan adalah upaya normatif. Keajegan pandangan tentang hakikat manusia mutlak diperlukan di dalam pendidikan, karena pandangan itu menjadi dasar arah normative strategi upaya pendidikan (Mungin Eddy Wibowo, 2001). Meskipun pendidikan itu tidak pernah berlangsung dalam kevakuman dan tidak pernah steril dari nilai-nilai sosial budaya, pendidikan bukanlah proses transformasi dan sosialisasi nilai-nilai budaya belaka. Pendidikan adalah proses individuasi, yaitu membantu manusia berkembang sesuai dengan fitroh kemerdekaannya, dengan memperhatikan keragaman pribadi dari setiap pendidik.  Proses pendidikan menyangkut pengembangan seluruh dimensi kepribadian manusia, mengembangkan kesadaran manusia akan makna hidup sebagai mahluk individual, mahluk sosial dan mahluk Tuhan. Dalam pengembangan kesadaran terkandung makan bahwa pendidikan merupakan proses humanisasi; proses memanusiakan manusia yang akan membedakan manusia dengan mahluk lainnya.
 Pendidikan adalah fenomena fundamental dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan manusia akan menemukan eksistensinya. Eksistensi manusia adalah eksistensi sosio-budaya, karena proses memanusiakan diri berarti juga proses membudayakan diri yang akan menyangkut eksistensi bersama dan menyangkut kehidupan orang lain. Oleh karena itu pendidikan harus menempatkan keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosial-kulturalnya dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses pentahapan aktualisasi intelektual, emosional dan spiritual peserta didik di dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat eksternal, sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan dengan pemahaman dirinya dan lingkungan kulturalnya.
              Pendidikan ada dan berlangsung di dalam proses sosio-budaya yang sekaligus sebagai wahana pengemban dan pengembang kehidupan sosio-budaya suatu bangsa. Pendidikan sebagai upaya sadar untuk menciptakan manusia sadar akan dirinya secara kultural, yang dapat memunculkan kekuatan moral, dan jika kekuatan ini dimiliki oleh cukup banyak manusia akan dapat mengubah corak kehidupan masyarakat itu sendiri.  Pendidikan sebagai proses interaksi, selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang dalam proses menjadi. Pendidikan bertugas membantu manusia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi, meskipuns secara umum dan konseptual hukum-hukum perkembangan dan dinamika kepribadian itu dapat dijelaskan. Namun, hakikatnya pendidikan itu merupakan proses yang bersifat individual sehingga strategi pendidikan harus dilengkapi dengan strategi khusus yang lebih intensif dan menyentuh dunia kehidupan secara individual. Strategi ini dapat memperhalus, menginternalisasi,  dan mengintegrasi sistem nilai dan pola perilaku yang dipelajari lewat proses pendidikan secara umum (Kartadinata,1987:104).

c. Hakekat Pendidikan sebagai Upaya  Pengembangan Kemampuan Manusia
 Paradigma baru dalam pendidikan mengisyaratkan aktualisasi keunggulan  kemampuan manusia yang kini masih tersembunyi dalam dirinya. Upaya dalam pengembangan manusia ada dua pendekatan yang  saling melengkapi, yaitu pengembangan sumber daya manusia  dan pengembangan kemampuan manusia.   Pengembangan sumber daya manusia atau  Human Resource Development (HRD), terutama terfokus pada keterampilan, sikap dan kemampuan produktif ketenagakerjaan sehingga diperlakukan manusia sebagai “sumber untuk dimanfaatkan” (yaitu sebagai  obyek), dalam mencapai tujuan ekonomi, terutama dalam jangka waktu pendek. Pengembangan itu tidak terjadi dari dalam,melainkan “diatur dari atas” sesuai kepentingan lingkungannya. Seyogyanya pendidikan itu teralihkan fokusnya kepada perkembangan dan keterwujudan kemampuan manusia atau Human Capacity Development (HCD) sepanjang hayat yang berhak dan mampu memilih berbagai peran dalam meraih berbagai peluang partisipasi, sebagai anggota masyarakat, sebagai orang tua, atau sebagai pekerja dan konsumen, yaitu suatu perkembangan yang arah dan sasarannya terutama terjadi dari dalam, namun disulut untuk aktualisasinya.
     Karena itu, HCD menunjuk pada konstelasi keterampilan, sikap dan perilaku dalam melangsungkan hidup mencapai kemandirian (Levinger,1996), sekaligus memiliki daya saing tinggi dan daya tahan terhadap gejolak ekonomi dunia. HCD bermutu adalah proses kontekstual dan futuristik sehingga HCD melalui upaya pendidikan bukanlah sebatas menyiapkan manusia menguasai pengetahuan dan keterampilan yang cocok dengan tuntutan dunia kerja pada saat ini, melainkan manusia yang mampu, mau, dan siap belajar sepanjang hayat, serta dilandasi sikap, nilai,etik dan moral. Kebermutuan HCD tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual, tetapi kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan moral, dan kecerdasan spiritual.  Di dalam pengembangan pribadi, individu perlu memperoleh kesempatan berpikir dan pengalaman berpikir tentang bagaimana  dia hendak membangun dirinya, apa yang sudah dibangun, dan memperhadapkan diri dengan kebermaknaan yang akan menjadi arah tujuan mengembangkan diri pada masa yang akan datang. Asumsi ini mengandung implikasi bahwa pendidikan yang bersifat umum dan klasikal, yang dalam banyak hal lebih banyak peduli terhadap belajar intelektual, perlu dibarengi dengan strategi upaya yang secara sistematis untuk membantu individu mengembangkan pribadi, memperhalus dan menginternalisasi nilai-nilai yang diperoleh di dalam pendidikan, serta mengembangkan keterampilan hidup.  Pendidikan adalah kendaraan mencapai keterwujudan unggulan manusia berdasarkan motivasi instrinsik, menuju pada kinerja yang akuntabel, berkualitas dan otonom sebagai manusia yang bermartabat, bukan semata sebagai manusia yang harus mengisi keseimbangan antara supply dan  demand.  Dari sudut pandang manajemen, orientasi HCD terfokus pada brain power planning dan bukan terutama pada man power planning. Meskipun kedua orientasi tidak sepenuhnya bertentangan, namun analisis dari kemengapaan, terutama HCD akan  menampilkan proses  inquiry yang sifatnya multidimensional. Selain itu,orientasi itu berdasarkan perspektif pengembangan jangka panjang yang jauh melebihi jangkauan relevansi dan efisiensi semata, karena memiliki refleksi terhadap aspek kompleks kualitatif perkembangan masyarakat.
Sebaliknya, man  power planning yang dilandasi oleh paradigma  supply and demand, banyak tgerhalang oleh berbagai kendala,antara lain berkenaan dengan perubahan cepat teknologi akibat perkembangan iptek yang merupakan tuntutan pasar dan mempersyaratkan keterampilan baru dalam memasuki dunia kerja.

d. Hakekat Pendidikan sebagai Investasi SDM
 Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu investasi  SDM (human capital investment) sehingga mampu menciptakan iklim yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk turut andil atau berperan serta dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Pelaksanaan pendidikan harus dapat mengembangkan dan menyebarluaskan nilai dan sikap produktivitas SDM melalui pengembangan dua kemampuan sekaligus, yaitu:
 Pertama kemampuan teknis seperti peningkatan penguasaan kecakapan, potensi dan keahlian yang seusia dengan tuntutan masyarakat dan lapangan kerja yang berubah.
 Kedua, kemampuan lain dalam kaitan dengan budaya yang mendorong SDM untuk menjadi kekuatan penggerak pembangunan ,  seperti wawasan, penalaran, etos kerja, orientasi ke depan, kemampuan belajar secara terus menerus, dan sejenisnya. Kemampuan untuk mengembangkan kedua kekuatan SDM itu, pendidikan sebagai suatu investasi SDM memiliki fungsi yang paling menonjol yaitu sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat, yang pada gilirannya akan memberikan tingkat balikan yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.  Ivestasi SDM berbeda dengan investasi sector fisik  karena pada sektor fisik rentang waktu antara investasi dan tingkat baliknya lebih terukur (measurable) dalam jangka pendek. Investasi  pendidikan lebih berjangka panjang, tingkat balikan terhadap investasi pendidikan tidak dapat dinikmati dalam ukuran waktu 1-2 tahun, melainkan belasan dan bahkan mungkin puluhan tahun. Indikator-indikator manfaat pendidikan juga lebih halus dan tidak selalu tampak secara langsung bahkan mungkin tidak selalu dapat diukur, sehingga harus diamati melalui indikator-indikator yang tidak langsung. Namun demikian, dengan semakin berkembangnya metode-metode dan alat ukur dalam analisis investasi pendidikan, maka manfaat pendidikan sudah mulai dapat diukur secara  langsung, misalnya melalui pengukuran penghasilan seseorang, penghasilan negara, dan pajak yang diterima oleh negara relative terhadap biaya yang dikeluarkan untuk investasi pendidikan.
              Karena sifatnya berjangka panjang, maka investasi pendidikan memiliki rentang waktu (lead time) yang panjang pula. Jarak antara waktu seseorang menjalani pendidikan dengan waktu ia memasuki masa produktif dalam masyarakat dan lapangan kerja tidaklah pendek. Dalam keadaan normal, rentang waktu ke depan seorang lulusan SMP adalah 9 tahun, sekolah menengah adalah 12 tahun, Sarjana (S1) sekitar 16 tahun. Rentang waktu yang panjang tersebut itulah, maka investasi pendidikan dituntut untuk lebih berorientasi ke masa depan.Investasi pendidikan dapat dipandang sebagai suatu proses peningkatan nilai tambah dalam sektor-sektor produktif yang dapat memacu pertumbuhan secara tepat. Nilai tambah tersebut dihasilkan dari keterampilan, dan keahlian yang diperoleh seseorang dapat disumbangkan dengan derajat profesionalisasi yang semakin tinggi lagi. Sehingga, pada gilirannya akan semakin memungkinkan bagi seorang SDM terdidik untuk dapat  menghasilkan karya-karya unggul dengan mutu bersaing sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dengan demikian peranan pendidikan dalam menggerakkan pendapatan masyarakat dan negara dan memacu pertumbuhan ekonomi.
               Investasi SDM melalui pendidikan dapat dibedakan dengan berlandaskan pada tiga konsep dalam ekonomi publik, yaitu pendidikan sebagai barang dan jasa umum (public goods); pendidikan sebagai barang dan jasa produktif (productive goods); dan pendidikan sebagai barang dan jasa Copied by : capital (capital goods).
             Ketiga konsep ini  dapat dijadikan dasar untuk menentukan baik dalam penentuan prioritas pembangunan pendidikan, maupun dalam pembagian tanggung jawab investasi SDM melalui pendidikan antara pemerintah dengan masyarakat.   Pendidikan bermutu akan dapat terwujud jika upaya pendidikan dapat membantu individu menjadi insane yang produktif baik dalam arti menghasilkan barang atau jasa atau hasil karya lainnya, maupun menghasilkan suasana lingkungan atau suasana hati serta alam pikiran yang positif dan menyenangkan. Individu produktif seperti ini perlu memiliki kemampuan intelektual, keterampilan, bersikap dan menerapkan nilai-nilai berkenaan dengan berbagai bidang kehidupan.   Manusia produktif merupakan wujud dari SDM yang berkualitas, merupakan manusia yang berkembang secara utuh yang menyelenggarakan kehidupannya secara berguna bagi manusia lain dan lingkungannya. Manusia produktif adalah manusia yang mampu mengembangkan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan yang terkait dengan masa depan. Pendidikan mengupayakan pengembangan segenap potensi individu secara optimal pada setiap tahap perkembangan, dan berperan aktif dalam pembentukan manusia produktif. Pengembangan ini akan dlengkapi dan meningkatkan pengembangan kemampuan intelektual dan keterampilan dengan pengembangan nilai dan sikap (Mungin Eddy Wibowo, 2000).

Read More

Thursday, December 5, 2013

Mengelola Informasi, dan Berkarya Inovatif

0
Cara murid belajar saat ini, bisa jadi sama dengan cara belajar gurunya dulu. Praktik yang siswa kerjakan bisa jadi seperti praktek gurunya waktu masih jadi mahasiswa 20 tahun lalu. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka rekayasa keterampilan berpikir, mengolah informasi, dan berkarya merupakan tiga bagian strategis  yang menentukan keberhasilan penerapan kurikulum.
Menghasilkan produk belajar yang baru sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didukung dengan kompetensi guru dalam menerapkan tiga pilar berpikir dan berkaya itu membantu siswa mengembangkan dan meningkatkan kapasitas dirinya. Siswa adaptif dengan perkembangan jamannya dan   tidak pernah berhenti menemukan hal-hal baru.
Yang tidak kalah penting adalah bagaimana mendorong siswa mengeksplorsi dan mengelaborasi informasi dalam rangka meningkatkan kapasitas pengetahuannya. Di samping itu yang tidak boleh terabaikan bagaimana siswa memperoleh pengalaman belajar tidak hanya dari mendengarkan yang verbalistis, melainkan mereka mendapatkan ilmu dan mempraktekannya sehingga kapasitas dirinya berkembang karena produktivitas pengalaman belajarnya.
Guru perlu mendalami fenomena yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas berpikir agar dapat meningkatkan kapasitas dan prestasi belajar siswa. Meningkatkan pemahaman mengenai  definisi berbagai istilah yang terkait dengan keterampilan berpikir membantu mempermudah dalam menentukan sasaran belajar.
Dalam hal ini Dr. Bob Kizlik [1] mendefinisikan  beberapa istilah yang berkaitan dengan kecakapan berpikir yang dikombinasikan dengan berbagai informasi dari sumber yang lainnya.
Istilah Umum
Berpikir berarti proses kreatif menciptakan rangkaian transaksi  antara berbagai item informasi yang diterima.
Metakognisi berarti kesadaran dan kendali terhadap pemikiran,termasuk di dalamnya, komitmen, sikap berpikir, dan perhatian.
Berpikir kritis merujuk pada proses berpikir yang rasional,  yang fokus pada kegiatan merekfleksikan hal yang dapat dipercaya dan dilakukan.
Berpikir kreatif merujuk pada kecakapan untuk mengkombinasikan ide  dalam memenuhi kebutuhan, atau untuk medapatkan hasil yang sesuai dengan kriteria dan ranah pertanyaan
Proses Berpikir
Memecahkan masalah adalah menganalisis situasi yang membingungkan atau tidak sesuai dengan yang diharapkan dengan tujuan mendapatkan solusi.
Membuat keputusan adalah proses menentukan solusi dari berbagai alternatif yang tersedia.
Menganalisis adalah kecakapan dasar untuk mengklarifikasi dan pengujian informasi dengan membagi dalam berbagai bagian dan menghubungkan berbagai bagiannya.
Memperhatikan adalah membangun kesadaran mental dengan memfokuskannya pada informasi tertentu.
Membandingkan berarti memperhatikan persamaan dan perbedadaan jatidiri atau entitas.
Mendefinisikan masalah adalah proses memfokuskan keterampilan dalam klarifiikasi berbagai bagian situasi.
Mengelaborasi adalah membuat sesuatu menjadi lebih detil, lebih jelas,  menjadi contoh, atau menguatkan dengan informasi lain dari suatu topik.
Memprediksi adalah mengantisipasi suatu outcome dengan menggunakan pengetahuan seseorang.
Merumuskan tujuan berarti memfokuskan keterampilan menentukan arah atau sasaran yang hendak dicapai.
Menyusun Informasi[2]
Mengobservasi masalah meliputi kegiatan mengklarifikasi kebutuhan, perbedaan, dan penggalan situasi
Merumuskan pertanyaan, berarti menyusun instrumen untuk menelusuri informasi melalui penelitian.
Menggunakan informasi yang berbeda.
Menggunakan berbagai sumber informasi.
Mencari informasi dari berbagai sumber yang berbeda.
Menyeleksi informasi untuk menyusun argumentasi yang relevan.
Menggunakan informasi dalam bentuk data yang bervariasi.
Mengadaptasi metode pengelolaan data yang berbeda-beda.
Mengklarifikasi informasi yang diperoleh melalui penelitian.
Menyimpan atau merekam  informasi.
Mengembangkan keterampilan berpikir kritis dengan menggunakan informasi yang telah tersaring.
Memperluas pengetahuan dengan menggunakan informasi tentang suatu subyek.
Menggunakan informasi untuk memecahkan suatu masalah.
Mengelompokan informasi sejenis.
Mengemas informasi untuk bahan publikasi.
Keterampilan Mengingat
Membubuhkan Kode merujuk pada proses pemberian tanda khusus pada bagian informasi tertentu agar mudah diingat.
Mengingat berarti menggali kembali informasi yang telah tersimpan dalam memori pada jangka waktu tertentu.
Keterampilan Mengorganisir Pikiran
Membandingkan artinya mengidentifikasi kesamaan atau perbedaan sesuatu.
Membadingkan kekuatan antara dua keadaan.
Membandingkan kelemahan anatara dua keadaan.
Membandingkan pengaruh antara dua keadaan.
Membandingkan mutu antra dua produk
Mengidentifikasi hubungan dan pola; mendeskripsikan pola hubungan.
Mennadai ide utama.
Menggambarkan hirarkhi ide utama dan ide pendukung
Mencari kesalahan sebagai bahan perbaikan.
Keterampilan Menganalisis
Mengidentifikasi atribut atau komponen yang menjadi bagian dari suatu keadaan.
Menggambarkan pola hubungan antar unsur.
Mendeskripsikan unsur-unsur yang membentuk sesuatu.
Menentukan unsur-unsur yang setara pada sesuatu keadaan.
Keterampilan Mengintegrasikan
Menyimpulkan hasil penelitian .
Membuat ringkasan.
Merestrukturisasi komponen yang telah terurai.
Menyusun argumen dengan dukungan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber.
Keterampilan Mengevaluasi
Menetapkan kriteria berdasarkan hasil mengolah data.
Memperifikasi atau mengukur tingkat ketepatan data.
Menilai suatu keadan
Tingkat keakurasian memilih indikator yang paling sesuai dengan kemampuan siswa dan kebutuhan siswa mengembangkan pikiran, mengisi pikiran, dan mengejawantahkan pikiran dalam bentuk karya siswa sangat bergantung pada kompetensi guru yang harus dituangkan dalam persiapan mengajar, pelaksanaan mengarja,  dan evaluasi hasil belajar siswa.
[1] Information Gathering, http://www.lboro.ac.uk/service/ltd/campus/infouser.pdf

Read More

PESAWAT

0

Read More

Thursday, November 7, 2013

Pendidikan Pramuka Dalam Membangun Karakter Bangsa

0

        Mungkin kita semua sudah sering menyaksikan perilaku generasi muda yang menyimpan dari norma-norma moral, sosial maupun agama. Dalam lingkungan sosial di sekitar kita tinggal banyak dijumpai anak-anak muda yang suka mabuk-mabukan, judi, atau bahkan ada yang berani “mengompas” orang-orang yang sedang lewat. Kita juga sering mendengar anak-anak muda yang hamil di luar nikah. Begitu juga perilaku anak-anak supporter  sepak bola di Surabaya (bonek) di jalan raya pada saat akan  atau sehabis menonton sepak bola sungguh “menakutkan”. Perilaku bonek ini juga merambah ke kota-kota lain, seperti Malang, Jakarta. Tidak jarang mereka secara bersama-sama memaksakan kehendak menghentikan kendaraan yang lewat untuk ditumpangi tanpa peduli kendaraan itu mau kemana. Bahkan terkadang mereka juga meminta uang untuk sekedar membeli minuman atau rokok kepada setiap pengendara mobil yang ditemui di lampu-lampu merah. Perilaku seperti yang dilakukan oleh para supporter  sepak bola  yang rata-rata masih anak-anak muda tersebut jelas merupakan perilaku yang tidak kita harapan. Perilaku mereka telah menyimpang dari norma-norma sosial dan mengganggu ketertiban sosial, serta melangar hak-hak orang lain.
            Kondisi seperti ini tentu sangat memprihatinkan kita semua. Di tengah kondisi bangsa yang sedang terpuruk secara ekonomi, moralitas generasi muda kita juga  terpuruk.  Keterpurukan moralitas generasi muda tentu sangat mengkawatirkan kita semua, sebab merekalah yang  akan menjadi pemimpin bangsa di masa mendatang. Kita tidak bisa membayangkan seandainya bangsa ini nanti dipimpin oleh orang-orang yang tidak bermoral, mungkin negara ini akan semakin kacau. Terpuruknya perekonomian bangsa ini antara lain  juga disebabkan oleh kemerosotan moralitas bangsa. Korupsi di kalangan elit politik dan birokrasi merupakan salah satu indikator kemerosotan moralitas bangsa.
            Budaya korupsi bukan hanya melanda di kalangan birokrat, tetapi juga di kalangan elit politik dari pusat sampai daerah. Otonomi daerah yang semula diharapkan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dalam praktenya justru menumbuhsuburkan korupsi di kalangan elit birokrasi dan elit politik di tingkat lokal. Kewenangan  yang didelegasikan oleh pemerintah pusat justru lebih banyak dipakai untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. Kepentingan rakyat yang seharusnya mereka lindungi dan perjuangkan justru mereka abaikan. Kasus ”Gayus” dan Makelar Kasus yang saat ini sedang menjadi pembicaraan publik yang melibatkan oknum penegak keadilan  jelas merupakan tindakan yang sangat kita sayangkan.  
Krisis moral yang ditandai dengan perilaku destruktif di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda dan korupsi di kalangan elit politik tentu mempunyai akar permasalahan yang bisa kita gali dan kaji lebih mendalam. Tanpa menemukan akar permasalahannya, akan sulit  memberi solusi yang tepat untuk mengatasi krisis moral. Perilaku sesorang tentu bukan hanya sebagai hasil pewarisan genetika, tetapi lebih merupakan hasil dari proses  budaya dan pendidikan yang berlangsung di keluarga, masyarakat, dan sekolah.  Ketiga lembaga tersebut (keluarga, masyarakat, dan sekolah) mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku seseorang. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak. Melalui pendidikan keluarga, anak dikenalkan nilai-nilai yang diyakini dan dijunjung tinggi oleh keluarga. Sedangkan di sekolah anak seharusnya dikenalkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, karena salah satu fungsi pendidikan sekolah menurut para sosiolog (T. Parson, E. Durkheim) adalah sebagai jembatan antara keluarga dan masyarakat, sehingga pada saatnya mereka bisa hidup bersama (living together) secara damai. 
            Adanya berbagai perilaku menyimpang dari generasi muda dan korupsi di kalangan elit politik mengindikasikan ada hal-hal yang perlu dibenahi dalam proses pendidikan kita. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa para elit politik dan generasi muda telah menempuh pendidikan di sekolah mulai dari SD sampai ke SMA, bahkan sampai di perguruan tinggi. Untuk itu,  perlu dikaji, terutama pada pendidikan dasar, bagaimana dengan pendidikan karakter di sekolah?, apakah di sekolah  telah terjadi proses pembentukan karakter?, karakter seperti apa  yang ingin dibentuk melalui pendidikan?, dan bagaimana cara membentuk karakter tersebut?.

Pendidikan Karakter
Antara moral dan karakter keduanya tidak bisa dipisahkan. Karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral (Jack Corley dan Thomas Philip. 2000). Atau dengan kata lain karakter adalah kualitas moral sesorang  Jika seseorang mempunyai moral yang baik maka akan memiliki karakter yang baik yang terwujud dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pendidikan karakter menjadi penting dan strategis dalam membangun bangsa.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Melalui pendidikan karakter kita ingin agar anak mampu menilai apa yang baik, memelihara secara tulus apa yang dikatakan baik itu, dan mewujudkan apa yang diyakini baik walaupun dalam situasi tertekan dan penuh godaan.
Pendidikan Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang  berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Ketiga substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain, karakter  dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik, dalam arti tahu kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berprilaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasil dari olah pikir, olah hati, oleh raga, dan olah rasa dan karsa.
            Upaya membangun karakter bangsa sebenarnya sudah dicanangkan sejak awal kemerdekaan. Seokarno sebagai sebagai salah satu pendiri bangsa telah menegaskan pentingnya nation and character  building. Pada saat proklamsi kemerdekaan, bukan hanya membangun negara, tetapi juga membangun bangsa yang memiliki karakter yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, Pancasila selain difunsikan sebagai dasar negara juga sebagai pandangan hidup dan ideologi.
Fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan prinsip-prinsip dasar  yang diyakini kebenarannya yang kemudian dijadikan  pedoman dalam menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan. Sebagai implikasi  dari funsi Pancasila sebagai pandangan hidup,  maka Pancasila juga merupakan jiwa dan kepribadian, dan sekaligus menjadi moral dan karakter bangsa Indonesia. Oleh karena itu,  upaya membangun karakter bangsa tidak bisa dilepaskan dari Pancasila yang menurut Notonagoro nilai-nilainya digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri. 
 Secara formal, instrument untuk membangun moral dan karakter bangsa sudah ada dalam kurikulum pendidikan nasional yaitu mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) atau sebelumnya mata pelajaran  Pendidikan Moral Pancasila (PMP).   Sebagai instrument pendidikan karakter bangsa, mata pelajaran tersebut diberikan sejak SD sampai ke perguruan tinggi. Ini berarti bahwa semua warga negara, termasuk mereka yang sekarang melakukan korupsi, berperilaku menyimpang, dan menggangu ketertiban sosial, sudah memperoleh pendidikan kewarganegaraan atau Pendidikan Moral Pancasila. Apakah ini bisa dikatakan sebagai kegagalan pendidikan PKn atau PMP?.  Jika ya, apa penyebabnya? Dan bagaimana solusinya? Merupakan pertanyaan yang perlu kita repleksikan dan kita cari jawabannya.
            Meskipun dalam kurikulum pendidikan sudah ada instrument pendidikan karakter,  isinya lebih banyak menekankan aspek kognitif. PKn (yang dulu PMP)  lebih banyak menekankan aspek kognitif daripada aspek aspektif. Padahal, pendidikan moral, apalagi pada anak-anak SD seharusnya  lebih banyak berkaitan dengan aspek afektif, daripada aspek kognitif. Menurut Kohlberg, pendidikan karakter seharusnya dilakukan sejak dini, karena perkembangan jiwa anak pada usia dini lebih banyak didominasi aspek afektifnya daripada aspek kognitifnya.
Dalam kenyataannya, pendidikan kewargaan negara lebih banyak mentransfer pengetahuan dan keterampilan, tanpa disertai dengan internalisasi nilai yang terkandung dalam pengetahuan tersebut. Evaluasi yang digunakanpun juga lebih menekankan aspek kognitif, sehingga proses belajar mengajar di sekolah lebih bersifat transfer pengetahuan, dari pada mengajarkan berpikir secara keilmuan dan internalisasi nilai melalui pemahaman. Peserta didik hanya memiliki pengetahuan, tetapi tanpa memahami nilai-nilai yang terkadung didalamnya. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan  manusia-manusia yang egois, yang tidak memahami arti kehidupan yang didalamnya ada perbedaan, nilai dan norma yang harus dihormati dan dijunjung tingi.       
Model pendidikan karakter yang dilakukan secara formal melalui pendidikan PKn di sekolah, apalagi di SD, selama ini kurang efektif, karena lebih banyak menekankan pada aspek koginitif. Padahal pendidikan karakter khususnya pada anak-anak SD, seharusnya lebih menekankan aspek afektif, melalui pembiasaan dan keteladanan. Selain itu, secara psikologis perkembangan jiwa anak-anak pada usia SD masih didominasi aspek empirik. Kemampuan abstraksi mereka belum berkembang dengan baik. Oleh karena itu, cara belajar mereka masih didominasi dengan meniru apa yang mereka lihat.
Pendidikan tentu bukan hanya sekedar untuk mentransfer ilmu dan keterampilan, tetapi juga merupakan internalisasi nilai-nilai dasar, khususnya nilai-nilai kemanusiaan kepada para peserta didik. Sebagaimana disampaikan oleh Daoud Joesoef, esensi pendidikan adalah proses yang membiasakan manusia sedini mungkin untuk mempelajari, memahami, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama sehingga berguna bagi individu, masyarakat, bangsa, dan negara (Kompas, 3 September 2008).  Hal ini juga sejalan dengan pilar-pilar pendidikan yang dikemukakan oleh   Unesco  yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together.  Belajar untuk hidup bersama, berati belajar untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama oleh  masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan benar-benar dapat menghasilkan manusia yang utuh, yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga menjadi manusia yang wisdom (bijak), yang ditandai dengan adanya kesadaran untuk  bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara, serta lingkungan. Sayangnya pendidikan yang dilakukan selama ini, termasuk Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)  yang diharapkan menajdi instrument pendidikan moral dan karakter bangsa belum mampu menghasilkan manusia-manusia bijak, karena lebih menekankan pada aspek kognitif semata. Pendidikan nilai, sebenarnya tidak hanya menjadi tugas dan tanggungjawab dari guru PKn dan agama, tetapi juga menjadi tugas dan  tanggungjawab semua guru (pendidik), karena setiap ilmu di dalamnya terkandung nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi. Sayangnya, belum semuanya pendidik mampu mengindentifikasi nilai-nilai apa yang terkandung dalam setiap pengetahuan, dan bagaimana cara menginternalisasi nilai-nilai tersebut kepada peserta didik, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi landasan dalam bersikap dan bertindak  dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Pendidikan nilai memang bukan sesuatu yang mudah, karena menuntut kemampuan abstraksi dan analisis dari para pendidik agar bisa menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pengetahuan yang diajarkan. Bahkan guru juga harus mampu mengindentifikasi nilai-nilai apa yang terkadung dalam setiap kompetensi dasar  dalam kurikulum. Ini berarti menuntut ketajaman analisis dan rasa ingin tahu  yang mendalam dari setiap pendidik. Cara berpikir filosopis harus menjadi bagian dari kegiatan belajar mengajar.
            Internalisasi nilai membutuhkan proses yang panjang. Paling tidak ada lima tahap yang harus dilalui, yaitu mengetahui, memahami, menghayati, meyakini, menyadari. Lima tahap tersebut terjadi dalam proses pembelajaran, dan menjadi bagian dari tugas guru atau pendidik. Pengetahuan tidak akan ada maknanya, jika pengetahuan tersebut tidak bermanfaat bagi kehidupan. Tugas pendidik adalah memahamkan, atau paling tidak membawa peserta didiknya untuk bisa memahami makna pengetahuan tersebut bagi kehidupan. Untuk itu, perlu ada penghayatan atas manfaat pengetahuan tersebut dalam kehidupan. Dengan demikian akan muncul keyakinan terhadap fungsi dan manfaat pengetahuan yang dimiliki, yang pada gilirannya muncul kesadaran atas arti dan fungsi pengetahuan tersebut bagi kehidupan. Dengan adanya kesadaran ini diharapkan  terjadi pengamalan ilmu dan pengetahuan untuk kepentingan umat manusia, bukan hanya untuk dirinya sendiri, sehingga keberadaanya bisa bermanfaat bagi orang lain  dan  bisa hidup berdampingan (living togather) bersama orang lain secara damai.
            Banyak nilai-nilai yang bisa diinternalisasi dari setiap mata pelajaran, apalagi pada mata pelajaran IPS, PKn, dan Agama, Dalam mata pelajaran tersebut memuat banyak nilai yang seharusnya diinternalisasikan. Mata pelajaran tersebut  sebenarnya bukan hanya menjadi sarana untuk menstrafer pengetahuan belaka, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai yang universal dalam kehidupan bersama, sebab tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai nilai. Setiap masyarakat mempunyai nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian dijadikan  pedoman dalam hidup bersama, termasuk dalam menentukan baik buruk dari sikap dan perilaku sesorang. Oleh karena itu,  ketidakpahaman atas nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bisa menjadi sumber konflik sosial maupun politik.
            Oleh karena itu , dalam rangka membangun  masyarakat yang beradab (civil society) dan mempersiapkan peserta didik memasuki kehiudpan global, pendidikan nilai yang menjadi karakter bangsa menjadi sangat urgen. Pendidikan nilai harus ditanamkan sejak dini pada generasi muda baik melalui pendidikan keluarga, maupun sekolah, dengan suatu pendekatan yang lebih komprehensif dan integratif.
 
Nilai- Nilai yang universal
            Seorang filsuf  Inggris (Windelbend) menyatakan bahwa hidup  manusia digerakan oleh 5 nilai yaitu nilai relegius/ketuhanan, nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai keindahan, dan nilai keadilan. Nilai-nilai tersebut telah menggerakan dan membimbing manusia dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Nilai ketuhanan telah mendorong setiap orang atau masyarakat untuk mencari Tuhan dan mensimbolkan Tuhan dengan berbagai bentuk, dan mematuhi perintahNya. Nilai kebenaran telah mendorong setiap orang untuk berdiskusi dan berdebat dalam berbagai hal. Nilai kebaikan telah mendoerong orang untuk berperilaku yang yang diharapkan dapat memberi dampak baik pada dirinya. Nilai keindahahan telah mendorong setiap orang untuk berhias diri dan lingkungannnya. Nilai keadilan telah mendorong setiap orang untuk bersedia memberi dan tidak mengambil hak orang lain.
            Nilai-nilai tersebut tidak jauh beda dengan nilai-nilai luhur bangsa yang kemudian dirumuskan sebagai dasar negara dan  pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Pancasila yang didalamnya mengandung nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan telah ditetapkan sebagai   moral dan pandangan hidup bangsa, yang berarti sebagai pedoman dan pembimbing perilaku setiap warga negara Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Nilai-nilai tersebut baik yang dirumuskan oleh Windelbend maupun yang terkandung dalam Pancasila  sebenarnya juga bersumber dari ajaran agama (termasuk Islam). Dalam Alqur’an bisa kita temukan nilai-nilai yang mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang baik (bermoral). Moralitas manusia menurut ajaran Islam bukan hanya dilihat dalam hubungan vertikal (hamblum minaullah), tetapi juga dalam hubungan horisontal (hablum minannas).  Dalam Alqur’an dijelaskan bahwa kemuliaan manusia dihadapan Allah dilihat dari ketaqwaannya (menjalankan perintah dan meninggalkan larangan). Sedangkan kebaikan manusia dihadapan sesama dilihat dari pengakuan dan penerimaan manusia terhadap orang lain, sebagaimana yang dikatakan Hainemman  bahwa adanya Aku karena Engkau. Artinya nilai diriku, baik dan buruknya diriku ditentukan oleh orang lain. Orang lain menilai diriku dari sikap, ucapan dan perbuatanku.
            Oleh karena itu, dalam rangka membangun karakter (moralitas) kepada peserta didik perlu ditanamkan nilai-nilai sosial, moral, dan personal. Nilai-nilai sosial seperti: suka monolong,  menyayangi dan mengkasihi, empati dan simpati kepada penderitaan orang lain, menghormati hak orang lain, menghargai perbedaan, adil, menghargai kelebihan orang lain (memuji), dapat dipercaya, kesopanan. Nilai-nilai moral seperti: kejujuran, dan bertanggung jawab. Dan nilai-nilai personal antara lain  kedisiplinan, kerja keras, dan prestasi.

Pramuka sebagai model Alternatif Pembangunan Karakter Bangsa
            Pramuka yang lebih menekankan para pesertanya untuk mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi dengan pendekatan konstruktivistik dan kooperatif learning tampaknya bisa dijadikan sebagai suatu alternative dalam membangun karakter bangsa. Gerakan pramuka didasari oleh Tri Satya[1] dan Dasa Darma[2]  sarat dengan pendidikan moral dan karakter. Melalui gerakan pramuka anak-anak, bukan hanya dibina agar menjadi warga Negara yang baik, tetapi juga dibina agar menjadi manusia yang baik. Gerakan pramuka bukan hanya mendidik anak agar  menjadi insan-insan yang mencintai tanah air, tetapi juga mencintai sesama warga negara, bahkan juga mencintai sesama maklhuk. Melalui gerakan pramuka anak-anak bukan hanya dibiasakan untuk hidup berdisiplin, tetapi juga jujur, bekerja keras, suka menolong sesama,  dan mempunyai sikap toleran terhadap perbedaan. Mereka bukan hanya diberi pengethuan, tetapi juga langsung mempratekan pengetahuan tersebut dalam realitas yang sesunguhnya, serta diajari belajar dari realitas tersebut. Bahkan dengan mengikuti kegiatan pramuka, sejak dini anak-anak sudah diajari untuk bisa mandiri, tanpa harus menggantungkan kepada orang lain. Bahkan suatu yang khas  di pramuka adalah pendidikan dilakukan dengan model-model permainan, sehingga menyenangkan (seperti moto pramuka: di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang).  Semua itu tentu dirasakan oleh siapa saja yang pernah ikut menjadi pramuka. Keceriaan, kegembiraan, kebersamaan, kejujuran, kedsisiplinan dan toleransi terhadap sesama merupakan hal yang tidak pernah lupa dari ingatan kita.
            Pengalaman  menjadi pramuka telah mengajarkan kepada kita untuk selalu disiplin, jujur, bertanggung jawab, ulet, tangguh, dan bekerja keras. Semua itu merupakan modal yang harus ditanamkan kepada setiap generasi muda, agar sumber daya manusia Indonesia mempunyai daya kompetisi dengan bangsa lain. Generasi muda sekarang sebagian besar termasuk generasi yang “lemah” baik secara fisik maupun mental. Ketika mereka dihadapkan pada kesulitan mereka mudah menyerah, dan stress. Hal ini banyak kita saksikan di kalangan mahasiswa. Setiap tahun ajaran baru, diadakan kegiatan Kemah Bakti Mahasiswa (KBM) yang  pada umumnya diselenggarakan di luar kota di daerah pegunungan, para mahasiswa baru  banyak yang stress tidak tahan menghadapi banyaknya kegitan yang dirancang oleh panitia. Mereka juga banyak yang sakit, karena tidak tahan dengan udara penggunungan yang dingin. Kegiatan-kegiatan  di luar  gedung seperti di daerah pegunungan tentu sudah  merupakan hal yang biasa bagi pramuka. 
            Pembangunan moral dan karakter bangsa tentu juga bukan merupakan sesuatu yang dapat dilakukan secara instans, tetapi melalui proses panjang dan harus dilakukan sejak dini. Pendidikan moral dan karakter juga tidak cukup dilakukan dengan retorika, tetapi harus dikerjakan secara berkelanjutan dengan memberi keteladanan. Model pendidikan tersebut, secara konseptual sesuai dengan prinsip yang dijunjung tinggi dalam gerakan pramuka. Oleh karena itu, gerakan pramuka bisa dijadikan sebagai alternatife bagi pembangunan moral dan karakter bangsa.
            Pendidikan pramuka bukan hanya menngajarkan ketrampilan, dan pengetahuan, tetapi juga mengajarkan moralitas dan karakter, bagaimana menjadi  kesatria yang rela berkorban untuk orang lain,  suka bekerja keras, tabah dan ulet, serta  mempunyai sifat jujur, bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Pendidikan pramuka juga bukan hanya  dengan retorika, tetapai dengan praktek langsung  dalam  kehidupan nyata dan disertai  keteladanan dari para Pembina. Model pendidikan semacam ini tepat untuk membangun moralitas dan karakter, apalagi jika dimulai sejak dini. Pembangunan karakter  melalui pendidikan pramuka seharusnya  dilakukan sejak dini, pada usia-usia SD dan SLTP. Pada masa tersebut, pemikiran anak masih belum diliputi oleh banyak kepentingan (masih murni). Jika kita kaitkan dengan teori John Look (tabula rasa), maka pembangunan moral dan  karakter lebih tepat pada usia dini. Selain itu, pendidikan pramuka yang lebih menekankan pada kegiatan yang menarik (permainan) secara psikologi lebih tepat untuk anak-anak. Sebagai homo ludens (makhluk yang suka bermain), anak-anak lebih suka dengan permainan. Dan pramuka telah menjadikan permainan sebagai media pendidikan.
            Bagi anak-anak usia SD permainan bukan hanya dapat dijadikan sebagai media pendidikan yang menyenangkan dan membuat siswa aktif, tetapi juga bisa dijadikan  media untuk menumbuhkan kreatifitas, solidaritas sosial, sportifitas, dan merangsang pertumbuhan, serta meningkatkan kesegaran jasmani. Bahkan  dengan model pendidikan tematik yang akan diterapkan untuk anak-anak SD kelas 1 dan 2 akan lebih tepat jika digunakan model pendidikan pramuka yang dikemas dengan permainan.
Sayangnya, pendidikan pramuka saat ini hanya menjadi kegiatan ekstra kurikuler di sekolah-sekolah, terutama di SD dan SMP. Seminggu sekali  para pelajar  mengenakan seragam  pramuka. Persoalanannya adalah gerakan pramuka di sekolah-sekolah tersebut sekarang tinggal simbol dan kurang diminati oleh para siswa. Gerakan pramuka di sekolah hanya terbatas pada uniform (seragam) saja, tetapi kurang pada in action, yang langsung mengajak para siswa  terjun dan belajar langsung  dari kehidupan nyata. Dari pendapat beberapa siswa yang penulis wawancarai, mereka kurang tertarik pada kegiatan pramuka, karena hanya bersifat teori. Kegiatan permainan yang menarik dan kreatif sebagai ciri khas dari kegiatan pramuka sering ditinggalkan. Akibatnya pendidikan pramuka tidak beda dengan pelajaran lain di sekolah yang membosankan. Ini tentu menjadi tantangan bagi para Pembina pramuka, untuk melakukan inovasi yang bisa menarik para siswa untuk mengikuti kegiatan pramuka.
Memang harus diakui bahwa kedudukan pendidikan pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler kurang mempunyai otoritas untuk dipaksakan kepada para siswa, sehingga pendidikan pramuka hanya menjadi tawaran kepada yang berminat. Di sisi lain, sekolah (kepala sekolah dan  guru) tidak semua paham tentang arti dan manfaat kegiatan pramuka. Meskipun para guru, ketika mengikuti pendidikan guru mungkin juga sudah mendapat pendidikan kepramukaan, tetapi lebih banyak bersifat teoritis. Sementara pendidikan kepramukaan membutuhkan kreatifitas para pendidik/pembina untuk mengembangkan model-model permainan  yang menarik dan mendidik.  Selain itu, pendidikan kepramukaan tidak harus selalu di dalam kelas, tetapi justru akan lebih menarik jika dilakukan di luar kelas (outdoor). Seperti dari hasil wawancara dengan para siswa, kegitan pramuka macam apa yang paling diminati adalah ketika camping/ berkemah.
Kiranya untuk mengatasi persoalan krisis moralitas di kalangan generasi muda, pendidikan pramuka bisa dijadikan sebagai alternative untuk diintegrasikan dalam kurikulum sekolah, khususnya untuk SD dan SMP, sehingga bisa “diwajibkan” untuk semua siswa. Meskipun demikian, para guru atau Pembina pramuka juga harus mengembangkan berbagai model pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, sehingga menarik bagi anak-anak. Jika nilai-nilai dasa darma yang selama ini menjadi pedoman perilaku pramuka bisa ditanamkan kepada para siswa SD, kiranya akan menjadi landasan moral yang sangat kokoh bagi moralitas bangsa ke depan. Saya yakin, bagi siapa saja yang berjiwa pramuka (Tri Satya dan Dasa Dharma) mempunyai moralitas yang baik, yang tidak mudah tergoda dengan berbagai godaan yang mengajak pada perilaku yang menyimpang dari norma sosial, norma moral dan norma agama.


Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. 2005. ”Pendidikan Kewarganegaraan untuk Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 57/XXVIII/III/2005.
Blackburn, Simon. 1994.  The Oxford Dictionary of Philosophy. London: Oxford University Press.
Corley, Jack and Philip Thomas.  2000. The Urgent Need for Character Education. Paper  was presented in Hyaat Regency Hotel Surabaua in May, 6, 2000. 
Daoud Joesoef. 2008.  esensi pendidikan, (Kompas, 3 September 2008).
Featherstone, M.; Lash, S. and Robertson, R. (ed). 1995. Global Modernities. London:
SAGE Publication.
Gellner, Ernest. 1994. Encounters With Nationalism. Cambridge: I3alckweel.
Haralambos Michael and Holborn Martin.  2000. Sociology Themes and Perspectives. Fifth edition.  London:  Harper Collins Publishers Limited.
Hartoko, Dick. ((ed.). 1985. Memanusiakan Manusia Muda. Yogyakarta:  Kanisius.
Kurtines, M. Wiliam and Cerwitz, L. Jacob (ed). 1992. Moralitas, Perilaku Moral dan Perkembangan Moral. Terjemahan M.I. Soelaeman. Jakarta, UI PRESS
Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesia: Sebuah pertanggungan Jawab. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Notonagoro, 1975. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: pantjuran Tujuh.
Sartono, K. 1993. Pembangunan Bangsa, tentang nasionalisme, kesadaran dan kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.
Soetandyo, W. 1999. Perubahan Kehidupan dan Lokal ke yang nasional, Bersiterus ke
yang Global pada Era Millenium Ketiga Masehi.
Makalah disampaikan pada
acara Wisuda Ssarjana Strata 1 Universitas 45 Surabaya, pada tanggal 7
Desember 1999.
Zurría, Nurul. 2007. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Yakarta: Bumi Aksara.











[1] Tri Satya: demi kehormatankau aku bersungguh-sungguh  menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan Yang maha Esa, Negara Kesatuan Republic Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945;  Menolong sesame hidup  dan ikut serta membangun masyarakat; Menepati Dasa Dharma.
[2] Dasa Dharma:1) bertaqwa kepada Tuhan YME; 2) Cinta alam dan kasih saying; 3) patriot yang sopan dan kesatria; 4) patuh dan suka bermusyawarah; 5) rela menolong dan tabah; 6) rajin trampil dan gembira; 7) hemat, cermat, dan bersahaja; 8)  disiplin, berani, dan setia; 9) bertanggungjawab dan dapat dipercaya; 10)  suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Read More