Konseling sebagai bagian integral dari
sistem pendidikan di sekolah memiliki peranan penting berkaitan dengan
peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Pendidikan dapat memanfaatkan konseling
sebagai mitra kerja dalam melaksanakan tugasnya sebagai rangkaian upaya
pemberian bantuan (Dahlan,1988:22). Konseling menyediakan unsur-unsur di luar
individu yang dapat dipergunakan untuk memperkembangkan diri (Crow & Crow,
1960). Mengacu kepada pernyataan tersebut, dalam arti luas konseling dapat
dianggap sebagai bentuk upaya pendidikan, dan dalam arti sempit konseling dapat
dianggap sebagai teknik yang memungkinkan individu menolong dirinya sendiri.
Perkembangan dan kemandirian individu dipentingkan dalam proses konseling yang
sekaligus merupakan proses pendidikan. Untuk dapat berkembang dengan baik dan
mandiri, individu memerlukan pengetahuan dan keterampilan, jasmani dan rohani
yang sehat, serta kemampuan penerapan nilai dan norma-norma hidup
kemasyarakatan.
Integrasi konseling dalam
pendidikan juga tampak dari dimasukkannya secara terus menerus program-program
konseling ke dalam program-program sekolah (Belkin,1975; Borbers &
Drury,1992); konsep-konsep dan praktek-praktek konseling merupakan bagian
integral upaya pendidikan (Mortensen & Schmuller,1964). Kegiatan konseling
akan selalu terkait dengan pendidikan, karena keberadaan konseling dalam
pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya pendidikan itu sendiri.
Konseling merupakan proses yang menunjang pelaksanaan pendidikan di
sekolah (Rochman Natawidjaja, 1978:30), karena program-program konseling
meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya menyangkut kawasan
kematangan pendidikan dan karir, kematangan personal dan emosional, serta
kematangan sosial. Hasil-hasil konseling pada kawasan itu menunjang
keberhasilan pendidikan yang bermutu pada umumnya. Dalam keadaan tertentu
konseling dapat dipergunakan sebagai metode dan alat untuk mencapai tujuan
program pendidikan di sekolah. Konseling yang dilakukan oleh konselor
sebagai bentuk upaya pendidikan, karena kegiatan konseling selalu terkait
dengan pendidikan dan keberadaan konseling di dalam pendidikan merupakan
konsekuensi logis dari upaya pendidikan itu sendiri. Dahlan (1988:22)
menyatakan bahwa konseling tidak dapat lepas dan melepaskan diri dari
keseluruhan rangkaian pendidikan.. Konseling sebagai upaya pendidikan
memberikan perhatian pada proses, yaitu cenderung memperhatikan tugasnya
sebagai rangkaian upaya pemberian bantuan pada anak mencapai suatu tingkat
kehidupan yang berdasarkan pertimbangan normative, antropologis
(memperhatian anak selaku manusia) dan sosio kultural. Dengan demikian,
konseling tidak mungkin melepaskan diri dari keseluruhan rangkaian pendidikan.
Dengan perkataan lain, pendidikan dapat memanfaatkan konseling sebagai mitra kerja
dalam melaksanakan tugasnya Secara fungsional, konseling sangat
signifikan sebagai salah satu upaya pendidikan untuk membantu individu
memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap-tahap perkembangan
dan tuntutan lingkungan. Konseling membantu individu untuk menjadi insan
yang berguna dalam kehidupan yang memiliki berbagai wawasan, pandangan,
interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat berkenanaan
dengan diri sendiri dan lingkungan. Konseling merupakan proses yang menunjang
pelaksanaan program pendidikan di sekolah, karena program-program konseling
meliputi aspek-aspek perkembangan individu, khususnya menyangkut kawasan
kematangan pendidikan, kematangan karir, kematangan persona dan emosional,
serta kematangan sosial.
Hasil konseling dalam kawasan ini
menunjang keberhasilan pendidikan umumnya.
Pendidikan sebagai proses
interaksi, selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berkembang
dalam proses menjadi.
Pendidikan bertugas membantu
manusia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi, dan mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan merupakan proses yang
bersifat individual sehingga strategi pendidikan harus dilengkapi dengan
strategi khusus yang lebih intensif dan menyentuh dunia kehidupan secara individual.
Strategi ini dapat memperhalus, menginternalisasi, dan mengintegrasikan sistem
nilai dan pola perilaku yang dipelajari lewat proses pendidikan secara umum
(Kartadinata,1987:104). Bentuk strategi khusus ini dapat ditemukan dalam
kegiatan konseling baik konseling individual maupun kelompok yang dilakukan
oleh konselor profesional yang mempunyai kemampuan untuk
mewujudkan tujuan.
Intervensi
konseling dalam merealisasikan fungsi pendidikan akan terarah kepada upaya
membantu individu yang dapat dilakukan melalui konseling untuk memperhalus,
menginternalisasi, memperbaharui dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola
perilaku yang mandiri. Dalam proses konseling amat mungkin diperlukan dan
digunakan berbagai metode dan teknis psikologis untuk memahami dan mempengaruhi
perkembangan perilaku individu, dengan tetap berstandar dan terarah kepada
pengembangan manusia sesuai dengan hakikat eksistensinya. Konseling mengemban
tanggung jawab untuk membantu individu mampu menyesuaikan diri terhadap
dinamika dan kehidupan sosial.
Hakikat manusia dengan segenap
dimensi kehidupan manusia yang perlu dikembangkan, yaitu dimensi spiritual dan
psikologis, sosio-emosional, fisik, serta segenap tujuan dan tugas kehidupan
menjadi landasan bagi konsepsi dan penyelenggaraan konseling. Manusia adalah
segala-galanya bagi pelayanan konseling. Ini berarti bahwa hakikat tujuan
konseling harus bertolak dari sistem nilai dan kehidupan yang menjadi rujukan
manusia yang ada dalam sistem kehidupan tersebut. Teori dan konsep konseling yang
didasarkan pada sistem kehidupan sosial dan budaya tertentu belum tentu berlaku
bagi sistem kehidupan sosial dan budaya lain, untuk itu diperlukan perspektif
sosiologis tentang hakikat tujuan konsling dan kehidupan individu yang hendak
dilayani.
Keberadaan konseling dalam
sistem pendidikan nasional di Indonesia dijalani melalui proses panjang sejak
kurang lebih 48 tahun yang lalu. Pada saat ini keberadaan pelayanan
konseling dalam setting pendidikan, khususnya persekolahan, telah memiliki legalitas
yang kuat dan menjadi bagian terpadu dari sistem pendidikan nasional. Pelayanan
konseling telah mendapat tempat di semua jenjang pendidikan mulai dari jenjang
Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Pengakuan ini terus mendorong
perlunya tenaga profesional yang secara khusus dipersiapkan untuk
menyelenggarakan layanan konseling. Secara eksplisit telah ditetapkannya:
a. Pelayanan bimbingan dan
konseling sebagai salah satu layanan pendidikan yang harus diperoleh
semua peserta didik telah termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
89 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Nomor 29 Tahun 1990 tentang
Pendidikan Menengah.
b. ”Konselor” sebagai salah satu
jenis tenaga kependidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab I pasal 1 butir 6
dinyatakan bahwa “pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi
sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”.
c. Pelayanan konseling yang
merupakan bagian dari kegiatan pengembangan diri telah termuat dalam struktur kurikulum
yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar
Menengah.
d. Beban kerja Guru bimbingan dan
konseling atau konselor pada Pasal 54 ayat (6) Peraturan Pemerintah republik
Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang menyatakan bahwa beban kerja
Guru bimbingan dan konseling atau konselor yang memperoleh tunjangan profesi
dan maslahat tambahan adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150
(seratus lima puluh) peserta didik per tahun pada satu atau lebih satuan
pendidikan. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 54 ayat (6) yang dimaksud
dengan “mengampu layanan bimbingan dan konseling” adalah pemberian perhatian,
pengarahan, pengendalian, dan pengawasan kepada sekurang-kurangnya 150
(seratus lima puluh) peserta didik, yang dapat dilaksanakan dalam bentuk
pelayanan tatap muka terjadwal di kelas dan layanan perseorangan atau kelompok
bagi yang dianggap perlu dan memerlukan.
e. Penilaian kinerja Guru bimbingan
dan konseling (konselor) pada Pasal 22 ayat (5) Peraturan bersama Menteri
Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 03/V/PB/2010 dan
Nomor 14 tahun 2010 tentang petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya dinyatakan bahwa penilaian kinerja Guru bimbingan dan konseling
(konselor) dihitung secara proporsional berdasarkan beban kerja wajib paling
kurang 150 (seratus lima puluh) orang siswa dan paling banyak 250 9dua ratus
lima puluh) orang siswa per tahun.
f. Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor, yang menyatakan bahwa
kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan
formal dan nonformal adalah: (i) sarjana pendidikan (S-1) dalam bidang
bimbingan dan konseling ; (ii) berpendidikan profesi konselor. Kompetensi
konselor meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional, yang berjumlah 17 kompetensi dan
76 sub kompetensi.
Berbagai upaya kearah
profesionalisasi konseling telah banyak dilakukan dan telah membawa profesi
konseling khususnya dalam setting pendidikan persekolahan lebih baik dari
sebelumnya. Perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju dan dalam
rentang diversifikasi kebutuhan yang amat luas menuntut profesi konseling untuk
menyesuaikan diri kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat tersebut.
Pada tatanan masyarakat dewasa ini
pelayanan konseling tidak hanya dibutuhkan dalam setting pendidikan
persekolahan tetapi juga dalam setting kehidupan masyarakat luas.Profesi
konseling menjadi makin kokoh dan kepercayaan public (public trust) akan segera
dapat diwujudkan dengan didukung oleh konselor sebagai tenaga profesional
dengan mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Republik Indonesia Nomor 27
tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
0 comments:
Post a Comment