Saturday, September 14, 2013

PENGELOLAAN KESEJAHTERAAN GURU DAN STAFF

Secara sosiologis, adanya pengakuan (recognition) terhadap suatu profesi itu pada dasarnya secara implisit mengimplikasikan adanya penghargaan, meskipun tidak selalu berarti financial (uang) melainkan dapat juga bahkan terutama mengandung makna status sosial. Tidak mengherankan karenanya, banyak dari warga masyarakat, terutama golongan menengah, yang memandang bahwa menjadi seorang perofesional itu merupakan dambaan yang menjanjikan.
Wujud dan derajat besarnya imbalan sebagai manifestasi dari penghargaan tersebut ternyata bervariasi, tergantung kepada derajat kepuasan yang dirasakan oleh para pengguna jasa pelayanan yang bersangkutan. Wujudnya mungkin ada yang hanya berupa sebuah piagam atau pernyataan terima kasih saja, namun ada juga yang berupa bayaran finansial atau bentuk lainnya. Dalam hal ini jenis bidang pekerjaan kedinasan yang diselenggarakan oleh pemerintah (negara), imbalan pokoknya lazimnya berupa gaji (salaries) di samping imbalan keprofesian (yang lazim disebut sebgai tunjangan keahlian atau tunjangan jabatan fungsional) yang besarnya sesuai dengan status dan peringkat jabatannya. Sedangkan dalam hal jenis bidang pekerjaannya merupakan sesuatu yang bersifat mandiri (independent) seperti notaris, akuntan, pengacara, dokter, dsb. lazimnya ketentuan besarnya imbalan termaksud diatur oleh organisasi asosiasi profesi yang bersangkutan dan/atau berdasarkan suatu perjanjian/kontrak yang disepakati oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Tenaga profesional yang diangkat oleh pemerintah pada dasarnya mengenal batas waktu pension (akhir masa baktinya), sedangkan sebagai penyandang profesi mandiri pada dasarnya terbatas sampai semampunya bertugas saja. Jadi meskipun telah menjalani pensiun sebagai PNS, seorang pengemban profesi dapat terus menjalani pensiun sebagai PNS, seorang pengemban profesional dapat terus menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat sepanjang memerlukannya.

A.    Batasan Kesejahteraan Guru dan Staf
Masalah kesejahteraan selain sensitif karena menjadi pendorong seseorang untuk bekerja, juga karena berpengaruh terhadap moral dan disiplin pegawai. Oleh karena itu, setiap organisasi manapun seharusnya dapat memberikan kompensasi yang seimbang dengan beban kerja yang dipikul pegawai. Dengan demikian, tujuan pembinaan pegawai adalah untuk menciptakan pegawai yang berdaya guna dapat terwujud. Lebih dari itu, tujuan organisasi untuk meningkatkan kesejahteraan dapat tercapai.
Pemahaman mengenai kompensasi di sini tidak sama dengan upah. Upah adalah satu perwujudan riil dari pemberian kesejahteraan. Bagi organisasi, upah adalah salah satu perwujudan dari kompensasi yang paling besar diberikan kepada pegawai. Pengertian kesejahteraan selain terdiri atas upah, dapat berupa tunjangan innatura, fasilitas perumahan, fasilitas kendaraan, tunjangan keluarga, tunjangan kesehatan, tunjangan pakaian, dan sebagainya yang dapat dinilai dengan uang serta cenedrung diberikan secara tetap. Kesejahteraan pegawai adalah imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan lembaga kepada pegawainya, karena telah memebrikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan organisasi guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Telah banyak penelitian yang dilakukan tentang tingkat kepuasan terhadap kesejahteraan yang mereka terima dari organisasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh: Jumlah yang diterima dan jumlah yang diharapkan; Perbandingan dengan apa yang diterima oleh pegawai, Pandangan yang keliru atas kompensasi yang diterima pegawai lain, Besarnya kompensasi instrinsik dan ekstrinsik yang diterimanya untuk pekerjaan yang diebrikan kepadanya.
   
1.    Jumlah yang diterima dan jumlah yang diharapkan
Sebagian besar teori mengenai kepuasan menekankan bahwa kepuasan pegawai ditentukan oleh perbandingan yang dibuatnya antara apa yang diterimanya dan berapa yang seharusnya (menurut keinginan) diterima oleh pegawai yang bersangkutan. Apabila pegawai menerima kurang dari yang seharusnya mereka terima, mereka merasa tidak puas. Sebaliknya, apabila mereka menerima lebih dari seharusnya mereka terima mereka cenderung merasa puas.

2.    Perbandingan dengan apa yang diterima oleh pegawai
Perasaan tidak puas seorang pegawai banyak dipengaruhi oleh perbandingan dengan apa yang diterima pegawai lain yang posisinya sama dengannya. Perbandingan tersebut baik di dalam maupun di luar organisasi tempat mereka bekerja untuk bidang yang sama. Perbandingan tersebut menghasilkan kesimpulan tentang berapa besarnya kompensasi yang seharusnya mereka terima.

3.    Pandangan yang keliru atas kompensasi yang diterima pegawai lain.
Banyak bukti akurat bahwa pegawai sering salah tanggap, tidak saja mengenai kecakapan, keterampilan, dan kinerja, akan tetapi juga menegnai besarnya kompensasi yang mereka terima. Hal itu penting dan merupakan masalah paling peka yang langsung berhubungan dengan harga profesionalisme mereka. Besar kemungkinan terjadi pandangan yang keliru apabila pegawai melibatkan perasaannya. Lagi pula lembaga sering tidak memberikan informasi akurat yang dapat mereka gunakan sebagai standar pembentukan pandangan.

4.    Besarnya kompensasi instrinsik dan ekstrinsik yang diterimanya untuk pekerjaan yang diebrikan kepadanya
Belum adanya kesepakatan para ahli untuk menentukan kompensasi mana yang paling penting, apakah kompensasi intrinsik atau kompensasi ekstrinsik dalam penentuan kepuasan kerja. Kebanyakan studi menunjukkan bahwa keduanya amat penting dan memiliki pengaruh langsung yang besar pada kepuasan kerja secara keseluruhan. Lagi pula kompensasi instrinsik dan ekstrinsik yang satu tidak dapat secara langsung menggantikan yang lain karena kedua macam tersebut memenuhi kebutuhan yang agak berbeda. Untuk memenuhi semua kebutuhannya, kebanyakan pegawai harus menerima kedua macam kompensasi tersebut sebagai hak mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang membosankan dan berulang-ulang atau yang menarik tidak memberi kesenangan apabila kompensasi yang diterima jauh dari yang diharapkan pegawai yang bersangkutan.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa jumlah kompensasi seluruhnya yang diterima pegawai sebagai bentuk kesejahteraan dapat memiliki pengaruh positif langsung terhadap perilaku pegawai yang bersangkutan berkenaan dengan statusnya sebagai salah satu unsur dalam perusahaan. Akan tetapi pada banyak segi, hal tersebut tidak langsung memepngaruhi motivasi pegawai untuk berkinerja. Namun motivasi merupakan suatu fungsi yang menghubungkan antara kompensasi dengan kinerja, dan secara tiak langsung dipengaruhi oleh jumlah kompensasi keseluruhan yang diterima pegawai yang bersangkutan.
Dari sudut pandang pegawai sebagai individu, besarnya kompensasi merupakan faktor penentu yang penting untuk gaya hidupnya dan jenis aktivitasnya di luar jam kerja. Di samping itu, kompensasi merupakan faktor penentu yang teramat penting untuk status sosial dan kehormatan di masyarakat. Bagi beberapa pegawai, kompensasi adalah lebih dari sekedar uang dalam jumlah tertentu dan tunjangan, serta berbagai macam imbalan yang dapat dibelanjakan untuk membeli seperangkat benda materiil dan jasa. Dalam hal ini kompensasi berarti kehormatan sosial, kekuasaan, dan daya pikat (infaiter) kepada masyarakat.
Penetapan besarnya kesejahteraan yang layak bagi masing-masing pegawai merupakan masalah yang teramat penting. Oleh karena itu, ini perlu penanganan profesional dari para manajemen SDM. Apabila proses ini dilaksanakan secara sembarangan, dapat mengakibatkan rasa tidak puas pegawai yang bersangkutan.

B.    Sistem Pemberian Kesejahteraan
Hingga kini eblum terdapat kesamaan di antara manajemen organisasi dalam menentukan persentase antara imbalan tunai dan tunjangan dari biaya keseluruhan kompensasi. Beberapa organisasi memebri imbalan semata-mata atas dasar uang tunai, sedangkan organisasi lain hampir 50 persen dari seluruh biaya kompensasninya terdiri dari bermacam-macam tunjangan. Sayang sekali, biar bagaimana wujud tunjangan, sering belum mencapai tingkat optimum bagi pegawai. Perbedaan mengenai pilihan antara tunjangan dan uang tunai cukup besar. Ada sebagian pegawai yang lebih menginginkan uang tunai dan yang lain lebih menyukai tunjangan. Di antara mereka yang lebih menyukai tunjangan, juga terdapat perbedaan mengenai tunjangan apa yang disenangi. Salah satu pendekatan masalah tersebut, yakni kompensasi kafetaria. Pendekatan ini memebri alternatif kepada individu tentang bagaimana mereka menerima kompensasi. Apabila tidak ada kemungkinan memebri pilihan kepada individu, organisasi yang memebrikan tunjangan tinggi, akhirnya sering mengeluarkan uang yang lebih banyak daripada perusahaan yang tunjangannya lebih rendah, akan tetapi mereka tidak menerima kembali hasil yang memadai atas pengeluaran tambahan mereka.
Adalah tidak mudah untuk menganekaragamkan tunjangan berdasarkan kinerja. Akibatnya, uang yang seyogyanya dipakai untuk mendorong kinerja menjadi lenyap. Semua ini menunjukkan dalam berbagai keadaan, lebih baik membayar dengan tunai daripada berbentuk tunjangan. Namun, masih perlu dibuat analisis tentang berbagai keadaan, sebelum mengambil keputusan untuk membayar uang tunai.
Jenis sistem imbalan bagaimana yang diperlukan bagi pegawai? Belum ditemukan jawaban yang pasti. Meskipun bagi organisasi terutama perusahaan besar, hal ini harus ditemukan jawabannya, karena efektivitas sistem imbalan bergantung pada disgnosis yang baik mengenai keadaan setempat. Namun demikian, di sini dapat diberikan beberapa patokan umum agar efektif. Patokan umum yang diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam praktek sistem kompensasi, meliputi individualistis, proses keputusan terbuka, imbalan berdasarkan kinerja, dan sistem kepnatasan yang merata.

1.    Individualistis
Sistem kompensasi perlu dicocokkan dengan kebutuhan dan gaya individu pegawai, maupun keadaan lingkungan bekerjanya. Peningkatan kebutuhan disebabkan beraneka ragamnya kebutuhan pegawai. Semakin besar kebutuhan dan gaya hidupnya, semakin besar keinginan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, imbalan yang dikeluarkan dari seluruh paket kompensasi semakin besar. Sistem kompensasi dengan imbalan yang sama dari setiap pegawai, menggunakan rencana upah dasar yang sama dan seterusnya, tidak lagi cocok dengan keragamaman kondisi angakatan kerja dan keanekaragaman bidang yang digumuli organisasi.
Pada saat mendatang sistem kompensasi yang ideal adalah adanya kontrak individual antara majikan dan pegawai yang meliputi rencana tunjangan, jam kerja, kaitan imbalan dengan kinerja, dan seterusnya. Dewasa ini, hal demikian sering kali dilakukan manajer puncak dari luar tetapi sudah tidak bisa dipraktekan dalam berbagai kondisi. Akan tetapi perlu ditemukan jalan tengah antara kontrak individualdan sistem imbalan yang membayarsetiap tnaga kerja dengan cara yang sama. Suatu pendekatan yang dipandang paling menguntungkan adalah mengkombinasikan tunjangan yang elastis dengan kenaikan sejumlah uang tunai. Kedua pendekatan tersebut dapat memberikan pilihan yang sangat luas kepada individu tenaga kerja.

2.    Proses Keputusan Terbuka
Pendekatan klasik terhadap pengambilan keputusa kompensasi adalah pendekatan yang sifatnya tidak transparan dari atas kebawah, dan mekanismenya tidak dapat diganggu gugat. Namun, lambat laun pendekatan ini mengalami proses perubahan meski tanpa disadari.
Banyak tenaga kerja saat ini yang diberi kesempatan lebih banyak untuk memberi masukan pada keputusan dan diberi informasi lebih banyak mengenai sifat keputusan tersebut. Namun demikian, untuk memenuhi harapan yang mengikat tenaga kerja dari pemerintah terhadap perusahaan untuk mengadakan keputusan sistem imbalan, perusahaan perlu mengambil keputusan kompensasi secara terbuka, partisipatif, dan memasukkan sistem yangmemberi perlindungan hak.
Dengan peningkatan ketrbukaan, partisipatif, dan perlindugan hak, sistem imbalan perusahaan mungkin akan cocok dengan perubahan pada ciri angkatan kerja dan jenis tuntutan pemerintah yang mungkin diajukan kepada peerusahaan dalam masyarakat kita yang sadar akan hak.

3.    Imbalan Berdasarkan Kinerja
Sistem imbalan dapat berperan dalam meningkatkan motivasi tenaga kerja untuk bekerja lebih efektif, meningkatkan produktifitas dalam perusahaan, serta mengimbangi kekurangan dan keterlibatan komitmen yang menjadi ciri angkatan kerja masa kini. Kuncinya adalah mengaitkan imbalan selayaknya dengan kinerja tenaga kerja.
Perusahaan yang tergolong modern, saat ini banyak mengaitkan imbalan dengan kinerja. Hal ini dimaksudkan untuk memancing motivasi tenaga kerja. Imbalan yang sesuai akan mendorong kinerja meningkat. Di sapng itu, kebutuhan akan kinerja yang lebih baik juga terus meningkat.
Pentingnya mengaitkan kinerja dengan imbalan menjadi terganggu karena ada beberapa gejala yang menyebabkan sulitnya melakukan hal tersebut. Gejala tersebut, antara lain tuntutan yang adil dan layak, pertumbuhan industri jasa, serta meningkatnya ketidakpuasan akan imbalan. Gejala-gejala tersebut merupakan kenyataan yang harus ditempuh perusahaan dalam mengantisipasi perkembangan perusahaan serta angkatan kerja yang hterogen dengan pemberian imbalan berdasarkan kinerja.

4.    Sistem Kepantasan yang Merata.
Tenaga kerja tidak begitu saja menerima kompensasi yang tinggi, tetapi tingkat upah seorang tenaga kerja ikut menentukan apakah tenaga kerja tersebut berhak atas tunjangan khusus atau tidak. Pada perusahaan besar terdapat tingkatan yang berbeda-beda dalam menetapkan sistem imbalan. Pengaruhlangsung yang terlihat adalah perusahaan terbagi-bagi dalam berbagai lapisan berdasarkan jenis imbalan yang diterima tenaga kerja. Hal ini agak bertentangan dengan keinginan tenaga kerja agar perusahaan lebih partisipatif dan punya perhatian terhadap keadilan sosal tenaga kerja. Jawabnya tidak terletak pada pemberian imbalan yang sama kepada setiap tenaga kerja, tetapi mungkin pada pengurangan dari beberapa perbedaan tersebut. Misalnya, perbedaan pemberian tunjangan antara tenaga kerja harian dan tenaga kerja tetap. Perbedaan tersebut sebenarnya memiliki dua keuntugan. Pertama, meningkatkan persepsi keadilan sosial;kedua, persepsi setiap tenaga kerja merupakan anggota penuh dari perusahaan.

C.    Bentuk Kesejahteraan Bagi Guru

1.    Pengakuan (Recognition)
Secara sosiologis, kehadiran suatu profesi itu pada dasarnya merupakan suatu fenomena sosial atau kemasyarakatan. Hal itu berarti bahwa keberadaan suatu profesi di masyarkat bukan diakui dan diyakini oleh para pengemban profesinya itu semata, justru diakui dan dirasakan manfaat dan kepentingannya oleh masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Langford (1978:19) berikut.
The members of a profession not only see themselves as members of a profession but are also seen as a profession by the rest of the community; and recognition as a profession is desired by its members. They think that they have something of value to offers to be community; and in recognizing them as a profession the community is agreeing that this is so.
Untuk berkembangnya peran dan fungsi suatu profesi guru membutuhkan pengakuan dari bidang-bidang profesi lain yang telah berada di masyarakat, terutama yang wilayah bidang garapan pelayanannya sangat mirip dan bertautan. Karena itu, para pengemban suatu profesi seyogianya sangat memahami dan menyadari batas dan keunikan bidang profesinya serta menghindari sikap arogansi (an antidote for arrogance). Pengakuan dan penghormatan antar bidang profesi akan tercipta dan terjamin, jika masing-masing pengemban berbagai bidang profesi mematuhi kode etiknya. Dalam banyak hal, prinsip dasar saling menghormati antar bidang profesi itu justeru akan merupakan landasan bagi terwujudnya kerjasama secara kesejawatan dalam menghadapi dan memecahkan berbagai permasalahan di masyarakat yang membutuhkan pendekatan secara interdisipliner yang inklusif interprofesi, sebagaimana halnya dijumpai mengenai permasalahan kependidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan sebagainya. (Blocher, 1987).
Untuk terjaminnya kehadiran, perkembangan dan kemantapan peran dan fungsi suatu profesi itu juga membutuhkan adanya pengakuan dan perlindungan hukum dari pemerintah yang bersangkutan. Dalam berbagai hal terkadang sulit terhindari terjadinya permasalahan keprilakuan atau kepribadian dan kinerja praktek pelayanan profesi yang dipandang menyimpang atau melanggar ketentuan-ketentuan kode etik atau norma humum yang berlaku di masyarakat, yang berakibat banyak pihak pengguna jasa layanan profesi tertentu yang merasa dirugikan. Karenanya, tidak jarang terjadinya pengaduan secara hukum terhadap para pengemban profesi tersebut. Untuk melindungi kepentingan semua pihak, dengan demikian, sangat logis adanya pengakuan resmi pemerintah atas suatu profesi (jurisdiction).
Status profesi di bidang kependidikan, khususnya yang termasuk kategori sebagai guru atau pengajar hingga saat sekarang ini baik secara nasional (di Indonesia) maupun secara internasional (di manapun di seluruh dunia), pada dasarnya baru memperoleh pengakuan (recognition) sebagai jenis kategori profesi bayaran yang diangkat oleh pemerintah atau lembaga/organisasi yang memerlukannya. Dengan demikian, profesi keguruan masih belum memperoleh pengakuan sebagai suatu profesi yang bersifat mandiri (seperti notaris, dokter, psikolog, dsb). secara internasional, pengakuan termaksud telah dirumuskan dan dinyatakan secara resmi dalam suatu deklarasi resmi Konferensi Internasional antar Pemerintah yang diselenggarakan oleh UNESCO (PBB) bersama ILO tertanggal 21 September sampai 5 Oktober 1966 di Paris. Namun demikian, sesungguhnya secara defakto juga peluang kearah itu sudah terbuka dengan mulai maraknya permintaan pelayanan privat-les dalam berbagai bidang atau matapelajaran tertentu. Hal ini merupakan embrio bagi pengembangan jenis pelayanan pengajaran individual secara profesional.

2.    Penghargaan dan Imbalan
Penghargaan dan imbalan yang diperoleh tenaga guru sudah barang tentu sesuai dan seirama dengan pengakuan terhadap statusnya. Sebagai tenaga yang diangkat (PNS atau lainnya) mereka memperoleh imbalan gaji seperti pegawai pada umumnya serta tunjangan jabatan fungsionalnya. Akan tetapi pada umumnya imbalan penghargaan termaksud hanya diperoleh selama dinas (setelah pensiun tidak berpraktek seperti profesi lainnya). Di negara-negara maju, meskipun status tenaga profesi kependidikan itu sebagi tenaga bayaran yang diangkat (belum mandiri), masih banyak jenis imbalan lain yang menunjang kesejahteraan dn pengembangan diri dan kemampuan profesionalnya, seperti kesempatan belajar atau bekerja di negara lain (sabatical live) dengan hak imbalan gaji penuh, dsb.
Berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 pada Bagian Kedua tentang Hak dan Kewajiban, Pasal 14 disebutkan bahwa:
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:
a.    memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b.    mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c.    memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d.    memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e.    memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f.    memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik seuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g.    memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h.    memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i.    memiliki kesmepatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j.    memperoleh kesmepatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi, dan/atau
k.    memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, meliputi:
a.    gaji pokok;
b.    tunjangan yang melekat pada gaji;
c.    penghasilan lain berupa:
-    tunjangan fungsional
-    tunjangan khusus
-    maslahat tambahan







0 comments:

Post a Comment