Saturday, October 12, 2013

Teori Pendidikan (Pendidikan selalu dapat dibedakan menjadi teori dan praktik.)

Teori pendidikan adalah pengetahuan tentang makna dan bagaimana seyogyanya pendidikan itu dilaksanakan,sedangkan praktek adalah tentang pelaksanaan pendidikan secara konkretnya (nyatanya). Praksis pendidikan adalah bidang kehidupan dan kegiatan praktis pendidikan. Kedua jenis seyogyanya tidak dipisahkan, sebaiknya  siapa yang berkecimpung dalam bidang pendidikan perlu menguasai keduanya. Teori mengandaikan praktek dan praktek berlandaskan teori. Oleh karena itu,dipandang janggal bila ada orang yang mengatakan dapat melaksanakan pendidikan tanpa menguasai teorinya.   Teori pendidikan perlu memiliki syarat-syarat,seperti logis, deskriptif,dan menjelaskan. Logis artinya memenuhi syarat-syarat untuk berpikir lurus dan benar, deskriptif atau penggambaran berarti dipaparkan secara jelas, sedangkan menjelaskan berarti memberikan penerangan. Teori pendidikan tidak dapat disusun seperti teori dalam  ilmu pengetahuan alam. Teori pendidikan disusun sebagi latar belakang yang hakiki dan sebagai rasional dari praktek pendidikan serta pada dasarnya bersifat direktif. Disusun demikian rupa dnegan maksud untuk menemukan sejumlah penemuan dalam praktek. Fungsi teori pendidikan menunjukkan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan sehingga disebut direktif.  Istilah direktif tersebut memberikan makna bahwa pendidikan itu mengarah pada tujuan yang hakikatnya adalah terwujudnya perkembangan optimal, kesejahteraan dan kebahagiaan peserta didik. Disini perlu dicatat tentang keterlibatan norma dan nilai dalam penyusunan teori pendidikan. Oleh karena itu pendidikan itu mempunyai obyek materi manusia, maka nilai-nilai yang berkenaan dengan kemanusiaan menjadi muatan dalam teori pendidikan. Dengan berpegang pada proposisi bahwa pendidikan itu adalah pelaksanaan dari filsafat antropologi maka beberapa pengertian dasar (anthropological constants) perlu diperhitungkan dalam penyusunan teori.
 Pengertian dasar tentang manusia, seperti materialistis, spiritual, historisitas, sosialitas, etis, dan religius memuat nilai-nilai tertentu. Dalam hal peranan pendidikan terhadap pengembangan meterialistis-spiritual adalah terbentuknya aku, dalam hal historis adalah   pertumbuhan dan perkembangan individu secara kontinyu dengan memperhatikan latar belakang, keadaan sekarang, dan yang akan datang. Pengertian dasar etis sudah jelas, terbentuknya keterkaitan struktur kejiwaan individu serta tata pergaulan dengan nilai-nilai kesusilaan agar dapat dicapai ketenteraman dan ketenangan dan hal ini menjadi lebih tinggi bila menunjuk kepada religius. Manusia berhadapan dan berhubungan dengan penciptanya: Tuhan seru sekalian alam.
Keterlibatan norma dan nilai dalam pendidikan adalah bahwa teori pendidikan mempunyai muatan tanggungjawab moral dari pihak pendidik. Pendidik adalah tenaga kependidikanyang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan (UU Nomor 20 Tahun 2003,
Sisdiknas, Pasal 1 butir (6). Disamping itu, dalam  hal tindakan pendidikan,teori pendidikan perlu menggunakan refderensi hubungan pribadi dengan pribadi.
     Peserta didik (anak) sebagai sasaran pendidikan adalah subyek pendidikan. Peserta didik adalah mahluk yang mempunyai pribadi, bebas, yang dalam berbagai hal mampu menentukan pilihannya sendiri. Oleh karena itu, suatu teoripendidikan dalam merumuskan  prediksi atau ramalannya berbeda dengan rumusan dalam teori ilmu  pengetahuan alam. Jika rumusan teori ilmu pengetahuan alam dapat secara eksak atau dikatakan pasti, dalam teori pendidikan rumusan itu memperhitungkan adanya kebebasan pada mahluk, yaitu manusia itu sendiri. Setidak-tidaknya juga sebagai mahluk yang berusaha menemukan kebebasan dirinya.
 Namun, teori pendidikan tetap memiliki kualitas direktif atau prediksi sekalipun, hal ini melekat pada sifat pembawaan pendidikan sebagai karya manusia yang normatif. Jika pendidikan menghendaki supaya anak
(peserta didikk) mengembangkan tingkah laku tertentu dalam pergaulan bukanlah tingkah laku yang anak kehendaki semata,melainkan yang dapat diterima dalam kaitan norma tertentu. Mislanya,bersikap sopan terhadap orang lain, baik teman sendiri atau gurunya. Selain menggunakan bahsa yang sopan juga disertai dengan roman muka yang cerah serta dengan membungkukkan badan seperlunya.
Pendidikan memandang manusia sebagai obyek dan subyek. Dikatakan obyekj karena manusia itgu menjadi sasaran pendidikan,terutama dalam hal kapasitasnya sebagai mahluk yang sedang tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, ciri dari sifat pertumbuhan dan perkembangan itu menjadi perhatian pendidikan untuk dipengaruhi dan diarahkan. Pendidikan memperhatikan manusia sebagai subyek karena dengan  potensinya manusia mempunyai daya untuk mengembangkan diri yang seterusnya menjadi mahluk yang berkepribadian dan berwatak. Sementara tokoh pendidikan,seperti M.J.Langeveld mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang membentuk diri pribadi.
    
2. Makna Pendidikan
     Pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang mempengaruhi perkembangan fisiknya, mentalnya, emosionalnya, sosialnya, dan etiknya. Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi seluruh aspek kepribadian dan kehidupan individu.secara umum dan sangat mendasar. Driyarkara (1980) mengatakan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani itulah yang menjelma dalam semua perbuatan mendidik. Pendidikan dipandang sebagai komunikasi keberadaan  (eksistensi) manusiawi yang otentik kepada manusia muda, agar dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Komunikasi ini terlaksana dalam  kesatuan antar pribadi antara pendidik dan anak didik. Pendidikan adalah upaya normatif yang membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya. Kemana manusia mau dibawa melalui upaya pendidikan?Jawabannya harus ditemukan melalui dan bermuara kepada pemahaman tentang hakikat manusia. Hakikat manusia tidak akan terlepas dari pertanyaan-pertanyaan antropomorfik karena pandangan manusia terhadap dunia dan dirinya tidak bisa lepas dari sudut pandang eksistensial manusia itu sendiri. Pertanyaan yang berkenaan dengan ”Siapa saya?”, Apa dunia ini?”,  Apa yang harus saya perbuat?”,  Apa yang dapat saya harapkan?” merupakan pertanyaan di sekitar upaya memahami hakikat manusia. Berbagai
pandangan dan tafsiran telah mencoba berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Harold H.Titus (1959:141-145) menggolongkan tiga aliran penafsiran terhadap hakikat manusia. Ketiga golongan itu ialah tafsiran klasik atau rasionalistik, tafsiran teologis,dan tafsiran ilmiah.
     Tafsiran klasik atau rasionalistik, yang bersumber pada filsafat Yunani dan Romawi, yaitu Socrates, Plato, Aristoteles, dan Kant memandang manusia sebagai mahluk rasional. Pandangan Socrates maupun  Plato, manusia yang cerdas itu adalah manusia yang berbudi atau manusia yang saleh; (”...the intelligent man is the virtuoes man”) (Titus,1959:142). Demikian pula Aristoteles memiliki pandangan yang sama dengan Plato bahwa:”...the reason (nous) is man’s true self and indestructible essence.” (Comford,1945:342). Kulminasi pandangan klasik ini  terletak pada filsafat Kant yang juga memandang manusia sebagai mahluk rasional (Fromm;Xirau,1968:4-5). Kant mengakui bahwa dengan  kemampuan rasio, manusia memperoleh pengalaman dan pengetahuan tetapi pengalaman dan pengetahuan itu tidak dapat dijadikan dasar keyakinan yang absolut bagimanusia. Jadi menurut pandangan klasisk(rasionalistik) manusia itu difahami terutama dari segi hakikat dan keunikan pikirannya. Pandangan ini merupakan pandangan optimistik,terutama mengenai keyakinan akan kemampuan pikiran manusia. Tafsiran teologis, memandang manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, dan dibuat menurut aturan Tuhan. Manusia hanya akan menemukan dirinya apabila dia mampu mentransendensikan kehidupan yang alami kepada tingkatan yang paling tinggi, yaitu Tuhan. Manusia adalah mahluk yang memiliki kemungkinan untuk berbuat baik atau jahat,dia memiliki kelemahan dan keunggulan. Kelemahan manusia dapat membawa dirinya terperosok ke dalam tataran kehidupan yang paling rendah (tingkat kehidupan hewani), tapi dengan kekuatannya pula manusia dapat mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Dalam tafsiran teologis perkembangan manusia terarah kepada upaya menemukan nilai kehidupan instrinsik dan mengabdikan diri kepada Tuhan. Tafsiran teologis ini bersumber dari ajaran agama (tertentu), sehingga dimungkinkan pula keragaman pandangan tentang hakikat manusia meskipun ada hal-hal yang bersifat universal.
     Tafsiran ilmiah tentang manusia bervariasi, bergantung kepada sudut pandang ilmu yang digunakan. Ilmu-ilmu fisis memandang manusia sebagai bagian dari keteraturan alam filsafat, oleh karena itu manusia harus dipahami dari segi hukum-hukum fisis dan kimiawi (Titus,1959:143).
Studi dan tafsiran ilmiah tentang manusia ini pertama kali dilakukan oleh Freud (Fromm; Xirau,1968:5), yang menerapkan hukum-hukum fisika dalam memahami dan menjelaskan mekanisme perilaku manusia.
 Pandangan eksistensialisme dan fenomenologis memandang manusia sebagai mahluk yang memiliki kebebasan memilih dan mengembangkan diri atas tanggung jawab sendiri. Pandangan eksistensialisme menurut Core, (1977:340) menerangkan bahwa manusia adalah mahluk yang mampu menyadari diri sendiri, unik, dan memiliki kapasitas tersendiri yang memungkinkan dia berpikir dan mengambil keputusan.  Pendapat lain menayatakan bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi (Titus,1959:294). Kekuatan manusia untuk memilih alternatif dalam mengambil keputusan secara bebas di dalam keterbatasannya, adalah aspek esensial dari keberadaan manusia. Kaum eksistensialis memandang bahwa manusia bertanggungjawab atas keberadaan dan takdir dirinya. Manusia tidak dibentuk oleh kekuatan pengkondisian yang deterministik. Kebebasan yang dimiliki manusia bukanlah sesuatu yang harus dibuktikan atau diperdebatkan, melainkan sesuatu kenyataan yang harus dialami oleh manusia itu sendiri. (Titus,1954:294). Kebebasan itu mengungkapkan tuntutan hakikat batiniah manusia dan menyatakan keadaan diri yang sejati dan otentik, yakni menghadapi pilihan, membuat keputusan, dan menerima tanggungjawab. Pandangan eksistensilis, manusia lahir dalam keadaan tidak selesai dan oleh karena itu manusia bertanggungjawab atas keberadaan dirinya di dunia ini.  Kaum eksistensialis memandang bahwa kehidupan manusia terarah menuju keberadaan dirinya (being). Menurut faham Kierkegaard bahwa keberadaan diri adalah suatu kondisi dimana manusia memahami dan menghayati sumber keberadaannya, kehidupan jiwa yang lestari, takdir, dan kenyataan bahwa Tuhan adalah kekuatan tertinggi yang mutlak (Titus,1959). Sedangkan faham Nietzsche yang menyatakan doktrin bahwa ”Tuhan itu mati”, dan dia melihat keberadaan diri itu sebagai suatu kondisi yang mengarah kepada ”Kehendak untuk Berkuasa” (Will to Power). Kehendak hidup menjadi kehendak untuk berkuasa.  Menurut Nietzsche manusia tidak menemukan nilai melainkan menciptakan nilai dan memproyeksikan nilai itu ke dalam kehidupan dunia. Pemikiran faham Nietzsche ini menghadapkan manusia kepada ketiadaan nilai dan tujuan yang pasti, membawa kehidupan manusia ke dalam situasi nihilistik.
     Kaum fenomologis mengartikan keberadaan diri itu ”menjadi di sana” (”to be the there”) ”di sana” bukan dalam arti dunia eksternal,melainkan pemahaman terhadap keterbukaan dunia (Hall & Lindzey,1981:320). Heidegger menafsirkan keberadaan diri itu dalam tiga persoalan pokok yang dia ajukan sebagai dasar pemahaman keberadaan manusia. Ketiga persoalan itu ialah: kemahlukan manusia, keberadaan konkrit, dan keberadaan transendensial.
 Manusia sebagai mahluk ingin mengetahui keberakhiran dirinya, kecemasan yang dialami manusia memungkinkan dia menjadi sadar akan keberadaannnya. Manusia mampu mempertanyakan dirinya dan menembus misteri keberadaannya. Keberadaan manusia  di dunia merupakan ciri esensial kehidupan. Akan tetapi keberadaan ini sering membawa manusia  ke dalam situasi kehidupan hampa tanpa pangkal tempat bertolak, karena dia kehilangan kesadaran akan keberadaan dirinya dalam kenyataan akhir (ultimate reality). Oleh karena itu, menurut Heidegger, keberadaan konkrit ini harus ditransendesikan sehingga manusia menjadi terbuka terhadap totalitas keberadaan yang sudah ada (being to such). Tanpa transendensi,apa yang diketahui dan dipelajari manusia akan semata-mata menjadi kumpulan data positivistik. Persoalan manusia ialah”...become existentially what he is esentially” (Titus,1959:301). Manusia dapat mengetahui melalui  wawasan tentang keberadaan diri sendiri. Untuk memahami keberadaan yang telah ada itu, manusia dituntut untuk hidup dan berbuat melalui proses pengambilan keputusan.
     Pemikiran Jaspers (Titus,1959:301) juga sama dengan pemikiran Heiddegger tentang penemuan makna yang tidak dapat  dicapai melalui pemikiran positivistik belaka, melainkan harus melalui spirit dan penerimaan bentuk-bentuk idealisme dan pengujian keberadaan pribadi. Untuk sampai kepada keberadaan pribadi ini, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang harus dipertimbangkan manusia, yaitu kedirian, komunikasi dengan sesama dalam kehidupan sosial, dan keragaman struktur kesejarahan masyarakat. Jasper pun memandang bahwa  kebermaknaan hidup itu akan diperoleh dari keberadaan diri yang otentik, yakni diri yang bertransenden, dan proses transendensi itu dipandu  oleh cinta kasih, iman, dan wawasan.
     Pandangan tentang manusia secara menyeluruh merupakan hasil pemikiran yang tidak hanya berkisar pada kajian manusia dalam kaitannya dengan diri sendiri dan lingkungan dunia yang masih terbatas, melainkan menjangkau hakikat manusia secara menyeluruh dan utuh. Pandangan yang menyeluruh dan utuh ini hendaknya mampu menjelaskan secara penuh arti dan maknadari harkat dan martabat manusia. Harkat dan martabat manusia inilah yang benar-benar membedakan manusia dari mahluk-mahluk lainnya di seluruh alam semesta.
 Prayitno (2009: 13-14) manusia mencerminkan kebutuhan-kebutuhan dirinya, kemampuan berpikir dan merasanya, kehidupan dan budayanya, kemampuan untuk menambah dan menuasai lingkungan serta menjangkau daerah-daerah yang semakin luas, serta kemampuan spiritual sampai keimanan dan Tetakwaannya kepada Tuhan yang Maha Esa, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat manusia yang didalamnya terkadung harkat dan martabat manusia,yaitu bahwa manusia adalah: mahluk yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang  Maha Esa, mahluk yang paling indah dan sempurna dalam penciptaaan dan pencitraannya, mahluk yang paling tinggi derajatnya, khalifah di muka bumi, dan pemilik hak-hak asasi manusia (HAM). Hakikat manusia itu merupakan inti dari kemanusiaan manusia. Mulai dari  awal penciptaannya, dalam kondisi keberadaannya di atas bumi, sampai dengan perjalanannya kembali ke hadapan Sang maha Pencipta, hakikat kemanusiaan yang terukir pada lima konsep dasar harkat dan martabat manusia itu tetap melekat pada diri manusia. Manusia memperoleh kehormatan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan hakikat dirinya itu dalam keseluruhan proses kehidupannya di dunia dan di akhirat. Berbekal hakikat yang selalu melekat pada dirinya, manusia mengembangkanm kehidupannya di atas bumi. Keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan
Yang Maha Esa ditunaikan melalui peribatan yang tulus dan ikhlas; citra kesempurnaan dan keindahannya diwujudkan melalui penampilan budaya dan peradaban yang terus berkembang; ketinggian derajatnya ditampilkan melalui upaya menjaga kehormatan dan menolak hal-hal yang merendahkan nilai-nilai kemanusiannya; kekhalifahan diselenggarakan melalui penguasaan danpengelolaan atas sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kehidupan damai dan sejahtera dalam alam yang nyaman dan tenteram; dan hak asasi manusia dipenuhi melalui saling pengertian, saling memberi dan saling menerima serta saling melindungi, mensejahterakan dan membahagiakan. Teraktualisasikannya hakikat dirinya, manusia akan dapat menemukan kehidupan di  dunia dan di akhirat sesuai dengan tujuan penciptaan manusia,yaitu kehidupan yang mulia, bermartabat dan membahagiakan. Kehidupan dmeikian itu diatur dengan memenuhi hak-hak asasi masing-masing individu dalam keseluruhan kemanusiaannya.  Sebagai mahluk Tuhan yang memiliki kebebasan, manusia patut mengembangkan diri atas dasar kemerdekaan pikiran dan kehendak yang dilandasi iman dan takwa kepada penciptanya, dalam  tatanan kehidupan bersama yang tertuju kepada pencapaian kehidupan yang sejaln dengan fitrahnya. Kondisi eksistensial manusia ini mengandung implikasi bahwa manusia berada dalam proses menjadi menuju keberadaan diri sebagai mahluk pribadi, sosial, dan mahluk Tuhan.
 Upaya pendidikan hanya dikenal dalam kehidupan manusia yang berlangsung dalam lintas generasi dan konteks kultural. Pendidikan adalah upaya membawa manusia dari kondisi apa adanya (what it is) kepada kondisi bagaimana seharusnya (what should be). Pendidikan tidak akan terlepas dari dan bahkan akan selalu terkait dengan manusia yang sedang berada dalam proses berkembang dengan segala dimensi keunikannya. Terkandung makna disini bahwa melalui proses pendidikan diharapkan manusia berkembang kearah bagaimana dia  harus menjadi dan berada. Jika pendidikan ini dipandang sebagai suatu upaya untuk membantu manusia menjadi apa yang bisa diperbuat dan bagaimana dia harus menjadi dan berada, maka pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Pendidik perlu memahami manusia dalam hal aktualisasinya, kemungkinan (possibilities),dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi dalam diri manusia (Sunaryo Kartadinata, 2011:9).  Dimensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan melalui pendidikan adalah dimensi kefitrahan, dimensi keindividualan,  dimensi kesosialan, dimensi kesusilaan,dan dimensi keberagamaan. Kata kunci kandungan dimensi kefitrahan adalah kebenaran dan keluhuran,  dimensi keindividualan adalah potensi dan perbedaan, dimensi kesosialan adalah komunikasi dan kebersamaan, dimensi kesusilaan adalah nilai dan moral, dan dimensi keberagamaan adalah iman dan takwa. Kelima dimensi kemanusiaan saling terkait. Dimensi kefitrahan menduduki posisi sentral yang mendasar keempat dimensi lainnya. Dimensi keindividualan, kesusilaan dan kesosialan saling terkait antara ketiganya, dan ketiganya itu terkait dengan dimensi kefitrahan dan keberagamaan; sedangkan dimensi keberagamaan merupakan bingkai dan sekaligus wajah dan keseluruhan aktualisasi kehidupan individu dengan kelima dimensinya (Prayitno, 2009:15-17).  Pelaksanaan pendidikan adalah upaya normatif. Keajegan pandangan tentang hakikat manusia mutlak diperlukan di dalam  pendidikan, karena pandangan itu akan menjadi dasar arah normatif strategi pendidikan. Pemikiran tentang hakikat manusia membawa implikasi imperatif bagi pendidikan untuk tidak terpaku pada ke-kini-an dan ke-disini-an (here and now), walaupun aspek itu diakui cukup penting. Pendidikan adalah persoalan tujuan dan fokus (Bereiter,1973:6). Mendidik anak berarti bertindak secara bertujuan dalam mempengaruhi perkembangan peserta didik sebagai satu kesatuan pribadi. Apa yang patut dilakukan dan diberikan pendidik kepada peserta didik dalam proses pendidikan merupakan suatu pilihan moral yang mempunyai tujuan dan fokus yang jelas. Hakikat manusia yang lahir dengan fitrahnya dan memiliki kemerdekaan untuk berkembang,maka pendidikan harus dipandang sebagai upaya untuk mengembangkan kemerdekaan manusia yang memungkinkan manusia bereksistensi dan berekstensi menuju arah berinsistensi, sebagai titik puncak dari penduniaannya (Driyarkara, 1980:57). 
Pengembangan kemerdekaan manusia melalui pendidikan,tidak lepas dariu dialektika kemerdekaan sebagai bagian dari hakikat manusia. Diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara, 1962:4) bahwa ” Dalam pendidikan harus senantiasa diingat bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri. Beratlah kemerdekaan itu! Bukan hanya tidak terperintah saja,akan tetapi harus dapat menegakkan dirinya dan mengatur perikehidupan dengan tertib. Hal ini termasuklah juga mengatur tertibnya perhubungan dengan kemerdekaan orang lain.  Ki Hadjar Dewantara pada waktu mengembangkan sistem pendidikan melalui perguruan Taman Siswa mengartikan pendidikan sebagai usaha suatu bangsa untuk memelihara dan mengembangkan benih turunan bangsa iktu. Manusia sebagai individu harus dikembangkan jiwa raganya dengan mempergunakan segala alat pendidikan yang didasarkan adat istiadat bangsa itu. Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara mengembangkan sistem among sebagai sistem pendidikan yang mendasari asas kemerdekaan dan kodrat alam. 
Sistem pendidikan itu dikembangkan berdasarkan lima asas yang dikenal sabagai panca Darma Taman Siswa, Panca Darma ini meliputi: 
a. Asas kemerdekaan yang berarti disiplin diri sendiri atas dasar nilai hidup tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
b. Asas kodrat alam,yang berartiu bahwa pada hakikatnya manusia itu, sebagai mahluk, adalah satu dengan kodrat alam ini. Ia tidak dapat lepas dari alam, tetapi ia akan berbahagia apabila dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan itu. Oleh karena itu, setiap individu harus berkembang dengan sewajarnya.
c. Asas kebudayaan,yang berarti bahwa pendidikan harus membawa kebudayaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan  kecerdasan zaman, kemajuan dunia dan kepentingan rakyat lahir  batin pada setiap zaman dan keadaan.
d. Asas kebangsaan yang tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malah harus menjadi bentuk dan fiil kemanusiaan yang nyata, dan oleh karena itu tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan mengandung rasa satu  dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju ke arah kebahagiaan hidup lahir batin seluruh bangsa.
e. Asas kemanusiaan yang menyatrakan bahwa darma setiap manusia itu adalah perwujudan kemanusiaan yang harus terlihat pada kesucian batin dan adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap mahluk Tuhan seluruhnya (Rohman Natawidjaya,ed.,1978).
Ki Hajar dewantara memberikan gambaran mengenai Pancadarma itu sebagai berikut: ”berikan kemerdekaan kepada anak-anak kita; bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata, dan menuju kearah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Agar kebudayaan itu dapat menyelematkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat,  maka perlulah dipakai dasar kebangsaan, akan tetapi jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan. (KI Hajar Dewantara,1959).   J.J. Rousseau, mengartikan pendidikan itu identik dengan kehidupan. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Pendidikan adalah proses kehidupan dan bukan proses untuk mempersiapkan hidujp. Hidup yang sewajarnya adalah hidup di mana manusia dapat mewujudkan diri sebagai individu dan sebagai mahluk sosial. Pendidikan adalah proses perwujudan diri tersebut (Wilds & Lotticj,1961:246). Rousseau  berkeyakinan bahwa pendidikan itu diselenggarakan oleh alam, manusia,  dan benda. Lebih lanjut Rousseau mengemukakan: Pendidikan datang kepada kita dari alam, dari manusia, atau dari benda-benda. Pertumbuhan yang terjadi di dalam diri kita yang berupa pertumbuhan organ dan kemampuan-kemampuan merupakan pendidikan dari alam,cara penggunaan yang dipelajari untuk melangsungkan pertumbuhan ini merupakan pendidikan diri manusia, dan hal-hal yang diperoleh melalui pengalaman dari sekitar kita adalah pendidikan dari benda-benda (Rousseau,1950:6).  R.J.Havighurst (1961:5) berpendapat bahwa pendidikan harus dipandang sebagai upaya masyarakat, melalui sekolah,untuk membantu individu mencapai tugas perkembangannya (developmental task). Havighurst (1961:2) mengartikan tugas perkembangan itu sebagai ... suatu tugas yang muncul pada atau kira-kira pada saat tertentu  dalam jalan hidup individu, yang apabila tugas itu dapat dilaksanakan dengan berhasil akan  membawa kebahagiaan dan keberhasilan dalam melaksanakan tugas selanjutnya; sedangkan kegagalan melaksanakannya menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, membawakan penolakan masyarakat pada dirinya, dan kesulitan-kesulitan dalam melaksanakan tugas berikutnya.  Dewey (1958:62) menekankan bahwa pendidikan itu merupakan suatu proses pertumbuhan (growth). Dalam hal ini dia menulis: Karena pertumbuhan merupakan ciri khas dari kehidupan, maka pendidikan menjadi satu dengan pertumbuhan, tanpa akhir. Tolok ukur mutu pendidikan di sekoplah adalah sampai dimana sekolah itu dapat menciptakan suasana untuk pertumbuhan dan menyajikan cara-cara untuk membuat pertumbuhan itu terlaksana dengan baik.  Pendidikan dipandang bukan semata-mata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi juga untuk kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju  tingkat kedewasaannya. Pendidikan tidak dipandang hanya sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan  keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan.
 Pendidikan mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu individu yang kemampuan-kemampuan dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai seorang individu, maupun sebagai warga negara atau warga masyarakat. Upaya yang dilakukan  untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan perlu melakukan usaha yang disengaja dan direncana dalam memilih isi (materi) strategi kegiatan, dan teknik penilaian yang sesuai. Kegiatan tersebut dapat diberikan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, berupa pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Apabila diarahkan dengan keberadaan dan hakikat kehidupan manusia, kegiatan  pendidikan diarahkan kepada empat aspek pembentukan kepribadian manusia yaitu pengembangan manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk beragama (religius).  Pendidikan merupakan gejala yang universal, dimana  ada manusia, di sana ada pendidikan. Gejala yang universal ini bukanlah hanya sekedar gejala yang melekat pada manusia saja, melainkan merupakan usaha untuk memanusiakan manusia itu sendiri, yaitu untuk membudayakan manusia. Oleh karenya pendidikan merupakan keharusan bagi manusia. Sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusia timbulah tuntutan akan adanya pendidikan yang terselenggara dengan baik, lebih teratur dan didasarkan atas pemikiran yang matang. Disinilah muncul keharusan adanya pemikiran teoritis tentang pendidikan.  Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Pendidikan bagi bangsa yang sedang membangun seperti bangsa Indonesia saat ini merupakan kebutuhan mutlak yang harus dikembangkan sejalan dengan tuntutan pembangunan secara tahap demi tahap. Pendidikan yang dikelola dengan tertib, teratur, efektif dan efisien akan mampu mempercepat jalannya proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang.  Pendidikan sebagai salah satu sektor yang paling penting dalam pembangunan nasional, dijadikan andalan utama untuk berfungsi semaksimal mungkin dalam upaya meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, dimana iman dan takwa kepada Tuhan Yang  Maha Esa menjadi sumber kehidupan semua bidang.  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir (1) menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,dan negara. Pasal 3 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnyapotensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. 

0 comments:

Post a Comment