Saturday, October 12, 2013

Hakikat Pendidikan

a. Hakekat Pendidikan dalam Konteks Pembangunan Nasional
     Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.  Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan taraf kesejahteraan kehidupan manusia merupakan bagian dari pembangunan nasional. Inti dari pada pembangunan pendidikan nasional ialah upaya pengembangan sumber daya manusia unggul dalam
rangka mempersiapkan masyarakat dan bangsa kita menghadapi millenium ketiga sebagai era yang kompetitif.
Hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi: (1) pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memberi kesempatkan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan  memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.
 Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Misi pendidikan nasional adalah : (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing  di tingkat nasional, regional, dan internasional; (3) meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global; (4) membantu dan menfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (5) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan  untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (6) meningkatkan eprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global; dan (7) mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Hakekat  Pendidikan sebagai Proses Pembudayaan dan Pemberdayaan Manusia
 Esensi dari pendidikan merupakan usaha untuk memajukan dan mengembangkan kecerdasan, kepribadian, dan fisik peserta didik. Dengan demikian keberhasilan suatu proses pendidikan sangat tergantung pada sejauh mana berkembangnya kecerdasan, kepribadian dan fisik tersebut dapat dicapaui bersama-sama. Tinggi dan rendahnya perkembangan dan pertumbuhan ketiga mantra tersebut sangatlah menentukan tingkat keberhasilan proses pendidikan bagi peserta didik, di sisi lainnya kebersamaan berkembang dan bertumbuhnya ketiga mantra juga menjadi faktor penentu.
 Pendidikan adalah proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang menuju kepribadian mandiri untuk dapat membangun diri sendiri dan masyarakat. Proses pembudayaan dan pemberdayaan berlangsung sepanjang hayat, dimana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan  kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya  pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia  yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memeliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirnya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan adalah pemberdayaan bagi manusia didik dalam menghadapi dinamika kehidupan baik masa kini maupun masa yang  akan datang, maka pemahaman tentang kemanusiaan secara utuh merupakan keniscayaan. Sebaliknya, jika pengertain dan pemahaman terhadap pendidikan kurang tepat tentu akan melahirkan konsep dan praktik pendidikan yang juga kurang proporsional.
 Memahami manusia bukan pekerjaan yang mudah. Perbincangan tentang manusia itu sendiri juga dinamis, berkembang dari waktu ke waktu sesuai perkembangan peradaban yang tak pernah usai. Karena pemahaman manusia yang terus berkembang maka pendidikan itu sendiri harus dinamis. Ada beberapa prinsip yang bisa menjelaskan tentang manusia bagi kepentingan pendidikan, yang diurai sebagai berikut:
 Pertama, manusia memiliki sejarah. Manusia adalah mahluk yang mampu melakukan self reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian dan perenungan. Perenungan merupakan koreksi terhadap masa lalu untuk sebuah kombinasi baru di masa depan.
 Kedua, manusia adalah mahluk dengan segala individualitasnya. Artinya, masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Penyelenggara pendidikan harus memaham hal-hal seperti itu. Jika prinsip individualitas tidak dipahami maka yang terjadi adalah kesenjangan dan ketimpangan.
 Ketiga, manusia selalu membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Eksistensi manusia adalah eksistensi bersama. Hubungan sosial antar-manusia ini mengandaikan hubungan dua subyek yang saling meminta supaya diterima dengan senang hati yang jujur dan baik. Oleh karenanya,
hubungan dasar antara dua subjek merupakan hubungan keadilan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya sendiri.
 Keempat, manusia mengadakan hubungan juga dengan alam sekitarnya.
Kesadaran manusia menyatakan bahwa ketersediaan alam belum semuanya cocok untuk memenuhi kebutuhan manusia. Oleh sebab itu, manusia perlu kerja, dengan kerja, manusia telah mengatasi jarak antara dirinya dengan alam. Kerja tidak hanya mengangkat alam ke dalam tataran manusiawi, tetapi juga membantu manusia menemukan kesosialannya. Kerja membantu manusia mewujudkan dirinya sebagai pribadi, disamping dengannya manusia bias mendidik  diri, menyuarakan kebebasan, dan otonomi. Kerja yang dimaksud di sini merupakan perbuatan mencipta dengan tetap mengandung dimensi  manusiawi. Ia merupakan gabungan budi dan rasa yang berdaya menafsirkan dunianya.
 Kelima, manusia dalam kebebasannya mengolah alam pikir dan rasa telah menemukan Yang Transendental. Hubungan antara manusia dengan Tuhan yang terlembagakan dalam kepercayaan atau iman merupakan terobosan manusia, keluar dari eksistensi empirisnya yang terbatas menuju sumbernya yang pertama dari eksisten dirinya dan dunia.  Hubungan ini dapat tersele nggara hanya dengan kontemplasi, dan oleh agama direalisasikan melalui doa-doa, kebaikan-kebaikan, dan kesalehan.   Kelima prinsip kemanusiaan sebagaimana tersebut di  atas itulah yang menjadi titik tolak dalam Penyelenggaraan pendidikan. Dengan memahami esensi dari prinsip kemanusiaan maka penyelenggaraan pendidikan akan berjalan dengan baik.  Proses pendidikan harus mampu menyentuh dan mengendalikan berbagai aspek perkembangan manusia. Terkandung makna di sini bahwa melalui proses pendidikan diharapkan manusia berkembang kearah bagaimana  dia harus menjadi dan berada. Jika pendidikan ini dipandang sebagai suatu upaya untuk menjadi manusia menjadi apa yang bias diperbuat dan bagaimana dia harus menjadi dan berada, maka pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Pendidik perlu memahami manusia dalam hal aktualisasinya, kemungkinannnya, dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat  diharapkan
terjadi dalam diri manusia.
Pendidikan bila di tinjau dari konteks kebudayaan,  maka pendidikan dimaknai sebagai proses pembudayaan peserta didik. Budaya itu sendiri merupakan buah keadaban manusia. Selanjutnya melalui proses pendidikan, peserta didik dituntun menjadi manusia  yang makin beradab dan berahlak. Adalah keliru apabila peserta didik yang diberi pendidikan justru menjadi manusia yang tidak beradab dan tidak berakhlak.  Budaya atau kebudayaan (culture) adalah pandangan hidup sekelompok orang (Berry dkk,1999) yang meliputi tradisi, kebiasaan, nilai-nilai, norma, bahasa, keyakinan, dan berpikir yang telah terpola  dalam suatu masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi serta memberikan identitas pada komunitas`pendukungnya (Prosser, 1978). Dipandang dari persepktif budaya, situasi pendidikan adalah sebuah “perjumpaan cultural” (cultural encounter) antara pendidik dengan peserta didik. Implikasi dari pendidikan adalah proses belajar, transferensi dan  kaunter transferensi, serta saling menilai. Hal ini menuntut pendidik untuk perlu memiliki kepekaan budaya untuk dapat memahami dan membantu peserta didik. Pendidik yang demikian adalah pendidik yang menyadari benar bahwa secara kultural, individu memiliki karakteristik yang unik dan ke dalam proses pendidikan ia membawa serta kerakteristik tersebut. Upaya untuk memiliki kepekaan budaya adalah, pendidik perlu mempunyai pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya di luar budayanya  sendiri, khususnya berkenaan dengan latar belakang budaya peserta didik di Indonesia.
 Pada dasarnya pendidikan sebagai proses kebudayaan (cultural process) bagi setiap peserta didik. Dalam konteks pendidikan sebagai proses pembudayaan maka setiap pendidikan itu berlangsung  senantiasa harus dilakukan dengan pendekatan budaya. Apabila pendidikan tidak dilakukan dengan pendekatan budaya maka hanya akan melahirkan orang-orang yang tidak beradab. Proses pendidikan harus berpusat pada peserta didik (student centered), bukan pada pendidik atau orang lain yang menjadi bagian dari proses pendidikan tersebut. Ketika proses pendidikan akan dilangsungkan, maka
pertama kali yang harus diperhatikan oleh siapa saja yang terlibat dalam proses pendidikan ialah kesiapan peserta didik, sejauh mana tingkat kecerdasannya, bagaimana kepribadiannya, serta bagaimana kondisi tubuhnya. Bahwasannya kesiapan pendidikan media lingkungan juga sangat penting akan tetapi semua itutidak dapat menggeser keutamaan peserta didik. Bahwa pendidikan itu juga sering diartikan sebagai suatu proses pengabdian kepada sang anak, hal itu menunjukkan bahwa demikain penting dan strategisnya posisi peserta didik dalam proses pendidikan itu sendiri.
 Muara dari upaya pendidikan adalah upaya membangun atau menumbuh kembangkan potensi peserta didik, atau dengan kata lain pendidikan akan selalu berpusat pada peserta didik. Karena pendidikan tersebut harus berpusat pada peserta didik maka dalam prosesnya harus berpedoman pada keinginan, gagasan dan juga kreativitas peserta didik (tut wuri handayani). Oleh karena  setiap anak memiliki kecerdasan dasar,kepribadian dasar, dan kondisi tubuh yang berbeda maka dalam pengembangannya disesuaikan pada keinginan, gagasan dan kreativitas masing-masing peserta didik. Hanya saja manakala ditemui keinginan, gagasan, dan kreativitas yang tidak mendidik barulah pamong atau pendidik memberikan bimbingannya. Hal ini menuntut  pendidik harus pandai-pandai menyesuaikan peserta didik, dan bukan peserta didik yang harus menyesuaikan pendidiknya.
 Upaya pendidikan adalah upaya normatif. Keajegan pandangan tentang hakikat manusia mutlak diperlukan di dalam pendidikan, karena pandangan itu menjadi dasar arah normative strategi upaya pendidikan (Mungin Eddy Wibowo, 2001). Meskipun pendidikan itu tidak pernah berlangsung dalam kevakuman dan tidak pernah steril dari nilai-nilai sosial budaya, pendidikan bukanlah proses transformasi dan sosialisasi nilai-nilai budaya belaka. Pendidikan adalah proses individuasi, yaitu membantu manusia berkembang sesuai dengan fitroh kemerdekaannya, dengan memperhatikan keragaman pribadi dari setiap pendidik.  Proses pendidikan menyangkut pengembangan seluruh dimensi kepribadian manusia, mengembangkan kesadaran manusia akan makna hidup sebagai mahluk individual, mahluk sosial dan mahluk Tuhan. Dalam pengembangan kesadaran terkandung makan bahwa pendidikan merupakan proses humanisasi; proses memanusiakan manusia yang akan membedakan manusia dengan mahluk lainnya.
 Pendidikan adalah fenomena fundamental dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan manusia akan menemukan eksistensinya. Eksistensi manusia adalah eksistensi sosio-budaya, karena proses memanusiakan diri berarti juga proses membudayakan diri yang akan menyangkut eksistensi bersama dan menyangkut kehidupan orang lain. Oleh karena itu pendidikan harus menempatkan keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosial-kulturalnya dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses pentahapan aktualisasi intelektual, emosional dan spiritual peserta didik di dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat eksternal, sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan dengan pemahaman dirinya dan lingkungan kulturalnya.
 Pendidikan ada dan berlangsung di dalam proses sosio-budaya yang sekaligus sebagai wahana pengemban dan pengembang kehidupan sosio-budaya suatu bangsa. Pendidikan sebagai upaya sadar untuk menciptakan manusia sadar akan dirinya secara kultural, yang dapat memunculkan kekuatan moral, dan jika kekuatan ini dimiliki oleh cukup banyak manusia akan dapat mengubah corak kehidupan masyarakat itu sendiri.  Pendidikan sebagai proses interaksi, selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang dalam proses menjadi. Pendidikan bertugas membantu manusia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi, meskipuns secara umum dan konseptual hukum-hukum perkembangan dan dinamika kepribadian itu dapat dijelaskan. Namun, hakikatnya pendidikan itu merupakan proses yang bersifat individual sehingga strategi pendidikan harus dilengkapi dengan strategi khusus yang lebih intensif dan menyentuh dunia kehidupan secara individual. Strategi ini dapat memperhalus, menginternalisasi,  dan mengintegrasi sistem nilai dan pola perilaku yang dipelajari lewat proses pendidikan secara umum (Kartadinata,1987:104).

c. Hakekat Pendidikan sebagai Upaya  Pengembangan Kemampuan Manusia
 Paradigma baru dalam pendidikan mengisyaratkan aktualisasi keunggulan  kemampuan manusia yang kini masih tersembunyi dalam dirinya. Upaya dalam pengembangan manusia ada dua pendekatan yang  saling melengkapi, yaitu pengembangan sumber daya manusia  dan pengembangan kemampuan manusia.   Pengembangan sumber daya manusia atau  Human Resource Development (HRD), terutama terfokus pada keterampilan, sikap dan kemampuan produktif ketenagakerjaan sehingga diperlakukan manusia sebagai “sumber untuk dimanfaatkan” (yaitu sebagai  obyek), dalam mencapai tujuan ekonomi, terutama dalam jangka waktu pendek. Pengembangan itu tidak terjadi dari dalam,melainkan “diatur dari atas” sesuai kepentingan lingkungannya. Seyogyanya pendidikan itu teralihkan fokusnya kepada perkembangan dan keterwujudan kemampuan manusia atau Human Capacity Development (HCD) sepanjang hayat yang berhak dan mampu memilih berbagai peran dalam meraih berbagai peluang partisipasi, sebagai anggota masyarakat, sebagai orang tua, atau sebagai pekerja dan konsumen, yaitu suatu perkembangan yang arah dan sasarannya terutama terjadi dari dalam, namun disulut untuk aktualisasinya.
     Karena itu, HCD menunjuk pada konstelasi keterampilan, sikap dan perilaku dalam melangsungkan hidup mencapai kemandirian (Levinger,1996), sekaligus memiliki daya saing tinggi dan daya tahan terhadap gejolak ekonomi dunia. HCD bermutu adalah proses kontekstual dan futuristik sehingga HCD melalui upaya pendidikan bukanlah sebatas menyiapkan manusia menguasai pengetahuan dan keterampilan yang cocok dengan tuntutan dunia kerja pada saat ini, melainkan manusia yang mampu, mau, dan siap belajar sepanjang hayat, serta dilandasi sikap, nilai,etik dan moral. Kebermutuan HCD tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual, tetapi kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan moral, dan kecerdasan spiritual.  Di dalam pengembangan pribadi, individu perlu memperoleh kesempatan berpikir dan pengalaman berpikir tentang bagaimana  dia hendak membangun dirinya, apa yang sudah dibangun, dan memperhadapkan diri dengan kebermaknaan yang akan menjadi arah tujuan mengembangkan diri pada masa yang akan datang. Asumsi ini mengandung implikasi bahwa pendidikan yang bersifat umum dan klasikal, yang dalam banyak hal lebih banyak peduli terhadap belajar intelektual, perlu dibarengi dengan strategi upaya yang secara sistematis untuk membantu individu mengembangkan pribadi, memperhalus dan menginternalisasi nilai-nilai yang diperoleh di dalam pendidikan, serta mengembangkan keterampilan hidup.  Pendidikan adalah kendaraan mencapai keterwujudan unggulan manusia berdasarkan motivasi instrinsik, menuju pada kinerja yang akuntabel, berkualitas dan otonom sebagai manusia yang bermartabat, bukan semata sebagai manusia yang harus mengisi keseimbangan antara supply dan  demand.  Dari sudut pandang manajemen, orientasi HCD terfokus pada brain power planning dan bukan terutama pada man power planning. Meskipun kedua orientasi tidak sepenuhnya bertentangan, namun analisis dari kemengapaan, terutama HCD akan  menampilkan proses  inquiry yang sifatnya multidimensional. Selain itu,orientasi itu berdasarkan perspektif pengembangan jangka panjang yang jauh melebihi jangkauan relevansi dan efisiensi semata, karena memiliki refleksi terhadap aspek kompleks kualitatif perkembangan masyarakat.
Sebaliknya, man  power planning yang dilandasi oleh paradigma  supply and demand, banyak tgerhalang oleh berbagai kendala,antara lain berkenaan dengan perubahan cepat teknologi akibat perkembangan iptek yang merupakan tuntutan pasar dan mempersyaratkan keterampilan baru dalam memasuki dunia kerja.

d. Hakekat Pendidikan sebagai Investasi SDM
 Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu investasi  SDM (human capital investment) sehingga mampu menciptakan iklim yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk turut andil atau berperan serta dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Pelaksanaan pendidikan harus dapat mengembangkan dan menyebarluaskan nilai dan sikap produktivitas SDM melalui pengembangan dua kemampuan sekaligus, yaitu:
 Pertama kemampuan teknis seperti peningkatan penguasaan kecakapan, potensi dan keahlian yang seusia dengan tuntutan masyarakat dan lapangan kerja yang berubah.
 Kedua, kemampuan lain dalam kaitan dengan budaya yang mendorong SDM untuk menjadi kekuatan penggerak pembangunan ,  seperti wawasan, penalaran, etos kerja, orientasi ke depan, kemampuan belajar secara terus menerus, dan sejenisnya. Kemampuan untuk mengembangkan kedua kekuatan SDM itu, pendidikan sebagai suatu investasi SDM memiliki fungsi yang paling menonjol yaitu sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat, yang pada gilirannya akan memberikan tingkat balikan yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional secara berkelanjutan.  Ivestasi SDM berbeda dengan investasi sector fisik  karena pada sektor
fisik rentang waktu antara investasi dan tingkat baliknya lebih terukur (measurable) dalam jangka pendek. Investasi  pendidikan lebih berjangka panjang, tingkat balikan terhadap investasi pendidikan tidak dapat dinikmati dalam ukuran waktu 1-2 tahun, melainkan belasan dan bahkan mungkin puluhan tahun. Indikator-indikator manfaat pendidikan juga lebih halus dan tidak selalu tampak secara langsung bahkan mungkin tidak selalu dapat diukur, sehingga harus diamati melalui indikator-indikator yang tidak langsung. Namun demikian, dengan semakin berkembangnya metode-metode dan alat ukur dalam analisis investasi pendidikan, maka manfaat pendidikan sudah mulai dapat diukur secara  langsung, misalnya melalui pengukuran penghasilan seseorang, penghasilan negara, dan pajak yang diterima oleh negara relative terhadap biaya yang dikeluarkan untuk investasi pendidikan.
 Karena sifatnya berjangka panjang, maka investasi pendidikan memiliki rentang waktu (lead time) yang panjang pula. Jarak antara waktu seseorang menjalani pendidikan dengan waktu ia memasuki masa produktif dalam masyarakat dan lapangan kerja tidaklah pendek. Dalam keadaan normal, rentang waktu ke depan seorang lulusan SMP adalah 9 tahun, sekolah menengah adalah 12 tahun, Sarjana (S1) sekitar 16 tahun. Rentang waktu yang panjang tersebut itulah, maka investasi pendidikan dituntut untuk lebih berorientasi ke masa depan.Investasi pendidikan dapat dipandang sebagai suatu proses peningkatan nilai tambah dalam sektor-sektor produktif yang dapat memacu pertumbuhan secara tepat. Nilai tambah tersebut dihasilkan dari keterampilan, dan keahlian yang diperoleh seseorang dapat disumbangkan dengan derajat profesionalisasi yang semakin tinggi lagi. Sehingga, pada gilirannya akan semakin memungkinkan bagi seorang SDM terdidik untuk dapat  menghasilkan karya-karya unggul dengan mutu bersaing sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dengan demikian peranan pendidikan dalam menggerakkan pendapatan masyarakat dan negara dan memacu pertumbuhan ekonomi.
 Investasi SDM melalui pendidikan dapat dibedakan dengan berlandaskan pada tiga konsep dalam ekonomi publik, yaitu pendidikan sebagai barang dan jasa umum (public goods); pendidikan sebagai barang dan jasa produktif (productive goods); dan pendidikan sebagai barang dan jasa Copied by : capital (capital goods). Ketiga konsep ini  dapat dijadikan dasar untuk menentukan baik dalam penentuan prioritas pembangunan pendidikan, maupun dalam pembagian tanggung jawab investasi SDM melalui pendidikan antara pemerintah dengan masyarakat.   Pendidikan bermutu akan dapat terwujud jika upaya pendidikan dapat membantu individu menjadi insane yang produktif baik dalam arti menghasilkan barang atau jasa atau hasil karya lainnya, maupun menghasilkan suasana lingkungan atau suasana hati serta alam pikiran yang positif dan menyenangkan. Individu produktif seperti ini perlu memiliki kemampuan intelektual, keterampilan, bersikap dan menerapkan nilai-nilai berkenaan dengan berbagai bidang kehidupan.   Manusia produktif merupakan wujud dari SDM yang berkualitas, merupakan manusia yang berkembang secara utuh yang menyelenggarakan kehidupannya secara berguna bagi manusia lain dan lingkungannya. Manusia produktif adalah manusia yang mampu mengembangkan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan yang terkait dengan masa depan. Pendidikan mengupayakan pengembangan segenap potensi individu secara optimal pada setiap tahap perkembangan, dan berperan aktif dalam pembentukan manusia produktif. Pengembangan ini akan dlengkapi dan meningkatkan pengembangan kemampuan intelektual dan keterampilan dengan pengembangan nilai dan sikap (Mungin Eddy Wibowo, 2000).



4. Pendidikan dan Bimbingan Konseling
 Konseling sebagai bagian integral dari sistem pendidikan di sekolah memiliki peranan penting berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Pendidikan dapat memanfaatkan konseling sebagai mitra kerja dalam melaksanakan tugasnya sebagai rangkaian upaya pemberian bantuan (Dahlan,1988:22). Konseling menyediakan unsur-unsur di luar individu yang dapat dipergunakan untuk memperkembangkan diri (Crow & Crow, 1960). Mengacu kepada pernyataan tersebut, dalam arti luas konseling dapat dianggap sebagai bentuk upaya pendidikan, dan dalam arti sempit konseling dapat dianggap sebagai teknik yang memungkinkan individu menolong dirinya sendiri. Perkembangan dan kemandirian individu dipentingkan dalam proses konseling yang sekaligus merupakan proses pendidikan. Untuk dapat berkembang dengan baik dan mandiri,
individu memerlukan pengetahuan dan keterampilan, jasmani dan rohani yang sehat, serta kemampuan penerapan nilai dan norma-norma hidup kemasyarakatan.
 Integrasi konseling dalam pendidikan juga tampak dari dimasukkannya secara terus menerus program-program konseling ke dalam program-program sekolah (Belkin,1975; Borbers & Drury,1992); konsep-konsep dan praktek-praktek konseling merupakan bagian integral upaya pendidikan (Mortensen & Schmuller,1964). Kegiatan konseling akan selalu terkait dengan pendidikan, karena keberadaan konseling dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya pendidikan itu sendiri. Konseling merupakan proses yang menunjang  pelaksanaan pendidikan di sekolah (Rochman Natawidjaja, 1978:30), karena program-program konseling meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya menyangkut kawasan kematangan pendidikan  dan karir,
kematangan personal dan emosional, serta kematangan sosial. Hasil-hasil konseling pada kawasan itu menunjang keberhasilan pendidikan yang bermutu pada umumnya. Dalam keadaan tertentu konseling dapat dipergunakan sebagai metode dan alat untuk mencapai tujuan program pendidikan di sekolah.  Konseling yang dilakukan oleh konselor sebagai bentuk upaya pendidikan, karena kegiatan konseling selalu terkait dengan pendidikan dan keberadaan konseling di dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya pendidikan itu sendiri. Dahlan (1988:22) menyatakan bahwa konseling tidak dapat lepas dan melepaskan diri dari keseluruhan rangkaian pendidikan.. Konseling sebagai upaya pendidikan memberikan perhatian pada proses, yaitu cenderung memperhatikan tugasnya sebagai rangkaian upaya pemberian bantuan pada anak mencapai suatu tingkat kehidupan yang berdasarkan pertimbangan normative,  antropologis (memperhatian anak selaku manusia) dan sosio kultural. Dengan demikian, konseling tidak mungkin melepaskan diri dari keseluruhan rangkaian pendidikan. Dengan perkataan lain, pendidikan dapat memanfaatkan konseling sebagai mitra kerja dalam melaksanakan tugasnya  Secara fungsional, konseling sangat signifikan sebagai salah satu upaya pendidikan untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap-tahap perkembangan dan  tuntutan lingkungan. Konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam kehidupan yang memiliki berbagai wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat berkenanaan dengan diri sendiri dan lingkungan. Konseling merupakan proses yang menunjang pelaksanaan program pendidikan di sekolah, karena program-program konseling meliputi aspek-aspek perkembangan individu, khususnya menyangkut kawasan kematangan pendidikan, kematangan karir, kematangan persona dan emosional, serta kematangan sosial. Hasil konseling dalam kawasan ini menunjang keberhasilan pendidikan umumnya.
 Pendidikan sebagai  proses interaksi, selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berkembang dalam proses menjadi.
Pendidikan bertugas membantu manusia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi, dan mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan merupakan proses yang bersifat individual sehingga strategi pendidikan harus dilengkapi dengan strategi khusus yang lebih intensif dan menyentuh dunia kehidupan secara individual. Strategi ini dapat memperhalus, menginternalisasi, dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola perilaku yang dipelajari lewat proses pendidikan secara umum (Kartadinata,1987:104). Bentuk strategi khusus ini dapat ditemukan dalam kegiatan konseling baik konseling individual maupun kelompok yang dilakukan oleh konselor profesional yang mempunyai  kemampuan untuk
mewujudkan tujuan.
     Intervensi konseling dalam merealisasikan fungsi pendidikan akan terarah kepada upaya membantu individu yang dapat dilakukan melalui konseling untuk memperhalus, menginternalisasi, memperbaharui dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola perilaku yang mandiri. Dalam proses konseling amat mungkin diperlukan dan digunakan berbagai metode dan teknis psikologis untuk memahami dan mempengaruhi perkembangan perilaku individu, dengan tetap berstandar dan terarah kepada pengembangan manusia sesuai dengan hakikat eksistensinya. Konseling mengemban tanggung jawab untuk membantu individu mampu menyesuaikan diri terhadap dinamika dan kehidupan sosial.
 Hakikat manusia dengan segenap dimensi kehidupan manusia yang perlu dikembangkan, yaitu dimensi spiritual dan psikologis, sosio-emosional, fisik, serta segenap tujuan dan tugas kehidupan menjadi landasan bagi konsepsi dan penyelenggaraan konseling. Manusia adalah segala-galanya bagi pelayanan konseling. Ini berarti bahwa hakikat tujuan konseling harus bertolak dari sistem nilai dan kehidupan yang menjadi rujukan manusia yang ada dalam sistem kehidupan tersebut. Teori dan konsep konseling yang didasarkan pada sistem kehidupan sosial dan budaya tertentu belum tentu berlaku bagi sistem kehidupan sosial dan budaya lain, untuk itu diperlukan perspektif sosiologis tentang hakikat tujuan konsling dan kehidupan individu yang hendak dilayani.
 Keberadaan konseling dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia dijalani melalui proses panjang sejak kurang lebih  48 tahun yang lalu. Pada saat ini keberadaan pelayanan konseling dalam setting pendidikan, khususnya persekolahan, telah memiliki legalitas yang kuat dan menjadi bagian terpadu dari sistem pendidikan nasional. Pelayanan konseling telah mendapat tempat di semua jenjang pendidikan mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Pengakuan ini terus mendorong perlunya tenaga profesional yang secara khusus dipersiapkan untuk menyelenggarakan layanan konseling. Secara eksplisit telah ditetapkannya:
a. Pelayanan bimbingan dan konseling sebagai salah  satu layanan pendidikan yang harus diperoleh semua peserta didik telah termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.
b. ”Konselor” sebagai salah satu jenis tenaga kependidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab I pasal 1 butir  6 dinyatakan bahwa “pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”.
c. Pelayanan konseling yang merupakan bagian dari kegiatan pengembangan diri telah termuat dalam struktur kurikulum yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22  Tahun 2006 tentang Standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Menengah.
d. Beban kerja Guru bimbingan dan konseling atau konselor pada Pasal 54 ayat (6) Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang menyatakan bahwa beban kerja Guru bimbingan dan konseling atau konselor yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150 (seratus lima puluh) peserta didik per tahun pada satu atau lebih satuan pendidikan. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 54 ayat (6) yang dimaksud dengan “mengampu layanan bimbingan dan konseling” adalah pemberian perhatian, pengarahan, pengendalian, dan  pengawasan kepada sekurang-kurangnya 150 (seratus lima puluh) peserta didik, yang dapat dilaksanakan dalam bentuk pelayanan tatap muka terjadwal di kelas dan layanan perseorangan atau kelompok bagi yang dianggap perlu dan memerlukan.
e. Penilaian kinerja Guru bimbingan dan konseling (konselor) pada Pasal 22 ayat (5) Peraturan bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 03/V/PB/2010 dan Nomor 14 tahun 2010 tentang petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya dinyatakan bahwa penilaian kinerja Guru bimbingan dan konseling (konselor) dihitung secara proporsional berdasarkan beban kerja wajib paling kurang 150 (seratus lima puluh) orang siswa dan paling banyak 250 9dua ratus lima puluh) orang siswa per tahun.
 f. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik  dan Kompetensi Konselor, yang  menyatakan bahwa kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal adalah: (i) sarjana pendidikan (S-1) dalam bidang bimbingan dan konseling ; (ii) berpendidikan profesi konselor. Kompetensi konselor meliputi kompetensi pedagogik,  kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional, yang berjumlah 17 kompetensi dan 76 sub kompetensi.
 Berbagai upaya kearah profesionalisasi konseling telah banyak dilakukan dan telah membawa profesi konseling khususnya dalam setting pendidikan persekolahan lebih baik dari sebelumnya. Perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju dan dalam rentang diversifikasi kebutuhan yang amat luas menuntut profesi konseling untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat tersebut.
Pada tatanan masyarakat dewasa ini pelayanan konseling tidak hanya dibutuhkan dalam setting pendidikan persekolahan tetapi juga dalam setting kehidupan masyarakat luas.Profesi konseling menjadi makin kokoh dan kepercayaan public (public trust) akan segera dapat diwujudkan dengan didukung oleh konselor sebagai tenaga profesional dengan mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
 
5. Landasan Pendidikan dalam Bimbingan dan Konseling
     Pada saat sekarang, mutu menjadi satu-satunya hal yang sangat penting dalam pendidikan. Kita semua mengakui saat ini memang ada masalah dalam sistem pendidikan. Lulusan pendidikan dasar,  pendidikan menengah dan pendidikan tinggi tidak siap memenuhi  kebutuhan masyarakat, apa lagi di era pasar bebas sangat dituntut adanya kemampuan daya saing untuk dapat bersaing dan bersanding dengan bangsa-bangsa lain dalam tataran nasioanl dan internasional. Zaman terus berubah dan setiap bidang kehidupan semakin memiliki saling ketergantungan satu sama lain di dalam suatu sistem yang integral. Oleh karena itu, pembangunan pendidikan haruslah semakin berorientasi keluar (outward looking) karena sistem pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem yang lebih luas yaitu sistem sosio-ekonomi yang kompleks yang harus dihadapi oleh setiap anggota masyarakat sesuai dengan sistem ketahanan nasional yang dimiliki oleh Masyarakat.
 Mutu pendidikan adalah karakteristik yang harus melekat pada sistem pendidikan. Kemampuan meningkatkan mutu harus dimiliki oleh sekolah sebagai suatu sistem yang otonom tanpa tergantung pada atau dikendalikan oleh pihak luar, termasuk pemerintah. Peningkatan mutu erat kaitannya dengan kreativitas pengelola satuan pendidikan dan guru dalam pengembangan kemampuan belajar siswa. Dalam dunia pendidikan, proses pendidikan yang bermutu mengacu pada kemampuan lembaga pendidikan dalam mengintegrasikan, mendestribusikan, mengelola, dan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal sehingga dapat meningkatkan kemampuan belajar lulusannya (Ace Suryadi dan Tilaar, 1993:163).
 Mutu pendidikan adalah kemampuan setiap satuan lembaga pendidikan dalam mengatur dan mengelola sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar. Mutu pendidikan akan tercermin dalam tingginya hasil belajar yang dicapai oleh siswa, namun proses pendidikan yang bermutu tidak berarti harus secara langsung mengajarkan pengetahuan. Prestasi belajar tinggi seyogyanya dihasilkan dari meningkatnya kemampuan siswa yang tinggi untuk belajar secara berkelanjutan atau mampu belajar sepanjang hayat (life-long learning). Mutu pendidikan ditentukan oleh dua kemampuan sekolah, yaitu kemampuan sekolah secara teknis kependidikan dan kemampuan dalam bidang pengelolaan. Prestasi belajar siswa dilahirkan dari kemampuan sekolah untuk mengelola suasana sekolah yang kondusif untuk siswa agar dapat belajar sebanyak mungkin melalui kegiatan belajar mandiri dan berkelanjutan. Prestasi belajar siswa dapat berkembang melalui pelatihan,
penanaman disiplin serta pembiasaan dalam menerapkan kemampuan dasar untuk belajar secara sistematis dan berkelanjutan.
Pendidikan di sekolah tidak hanya dilakukan melalui proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru mata pelajaran, pelatihan  yang dilakukan oleh guru praktik, tetapi juga kegiatan konseling yang dilakukan oleh konselor untuk membantu individu dalam mencari dan menetapkan pilihan serta
mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kehidupan belajar, perencanaan dan pengembangan karir, serta kehidupan keberagamaan. Mutu pendidikan di sekolah  akan dapat diwujudkan bilamana dilaksanakan oleh guru mata pelajaran, guru praktik, dan konselor yang kompeten dan profesional yang mampu mengelola proses pendidikan secara profesional. Artinya, mampu mentransformasikan kemampuan profesional yang dimilikinya ke dalam
tindakan yang nyata didasarkan kepada pelayanan keahlian dalam mengelola pendidikan, baik pelayanan dalam pembelajaran, pelatihan, maupun konseling terhadap peserta didik yang menjadi
tanggungjawabnya di sekolah.
Mutu pendidikan akan dapat diwujudkan bilamana pendidikan dilaksanakan secara tuntas. Pendidikan yang tuntas  mengakui dan bahkan menekankan kemampuan manusia untuk bertanggung jawab.
Pendidikan yang tuntas bertopang pada kejelasan norma, memiliki garis lurus yang membimbing pemikiran dan tindakan pendidikan, sehingga karena kejelasan dasar, tujuan, dan garis pembimbingnya, kewaswasan dalam bertindak itu dapat dihindari. Pendidikan yang bagaimana yang
memiliki kualifikasi tersebut? Dapatlah ilmu dan teknologi dijadikan penglima tertinggi dalam menciptakan pendidikan tuntas? Ilmu dan teknologi telah mencoba kearah itu dan sebegitu jauh telah memberikan kenyamanan hidup kepada umat manusia dewasa ini. Memang ilmu telah memberdayakan manusia, tetapi secara moral ia tetap lemah.
Apakah hidup kita harus diabdikan sekadar untuk mendapatkan kenyamanan sepintas? Apa lagi kalau diingat bahwa ilmu selalu bersikap skeptis terhadap kebenaran? Bukankah kebenaran dipandangnya bersifat tentatif hipotetis? Bila demikian, maka melalui ilmu dan teknologi tidak
akan didapat dasar dan arah yang jelas serta bimbingan perbuatan yang tuntas.
 Mengapa perlu pendidikan yang tuntas dalam arti pendidikan yang mendapat tuntunan dari Atas, yaitu Allah SWT? Memang hanya dengan pendidikan yang tuntas kita dapat mengupayakan tercapainya manusia yang merealisasikan hidup takwa selaku manusia utuh. Pengertian utuh
hendaknya diartikan sebagai lengkap, tiada cela, sehingga menampilkan pendirian yang kokoh dan mantap, bertolak dari niat yang ikhlas, bertindak secara selaras dengan jalan yang lurus, memperhatikan rangkaian perilaku yang sinkron, taat asas dalam usaha mencapai ridla Allah SWT.
Manusia yang utuh menurut pandangan tuntas, mencerminkan manusia kaffah, dalam arti satu niat, ucap, pikir, perilaku, dan tujuan yang  direalisasi dalam hidup bermasyarakat. Satu niat, ucap, pikir, perilaku, dan tujuan itu, akan membebaskan manusia dari konflik diri yang dapat mengarah kepada kepribadian terbelah. Untuk mewujudkan pendidikan yang tuntas, kita perlu menciptakan situasi dan iklim pendidikan yang serasi dengan tujuan pendidikan. Bukankah sikap takwa akan lebih subur
berkembang dalam iklim hidup religius? Iklim tersebut akan tercipta oleh manusia itu sendiri, manusia pula yang menyambut iklim dan situasi untuk berperilaku tertentu, tapi pada akhirnya kemampuan  manusia pun terbatas.
 Dalam pelaksanaannya, pendidikan yang tuntas tidak  hanya didasarkan pada  pelayanan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru mata pelajaran dan layanan pelatihan yang dilakukan oleh guru praktik, tapi juga pada pelayanan   konseling yang dilakukan oleh  konselor sekolah. Melalui layanan konseling, konselor akan membantu terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengatasan masalah agar  peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia.
Perubahan global tidak hanya menyangkut kualifikasi persyaratan orang untuk memasuki suatu pekerjaan tetapi juga pada waktu yang bersamaan muncul disorientasi personal dan ketidaktepatan orang dalam menempati suatu pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini proses belajar sepanjang hayat
(lifelong learning) dan belajar sejagat hayat (lifewide learning) akan menjadi determinan eksistensi dan ketahanan hidup manusia.  Lifelong learning adalah proses dan aktivitas yang terjadi dan melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari karena dia selalu diperhadapkan kepada lingkungan yang selalu berubah yang menuntut dia harus menyesuaikan, memperbaiki, mengubah dan meningkatkan mutu perilaku untuk dapat memfungsikan diri secara efektif di dalam lingkungan. Proses belajar
sepanjang hayat itu terjadi secara terpadu, menyangkut seluruh aspek kehidupan, terjadi keterpaduan antara belajar, hidup, dan bekerja yang satu sama lain tak dapat dipisahkan melainkan terjadi secara bersinergi (lifewide learning).
Dalam konteks kecenderungan sosial dan ekonomi yang terjadi pada masyarakat global, muncul masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge base society) sebagai suatu learning society yang memerlukan pendidikan dan latihan dalam sistem belajar sepanjang hayat, yang menawarkan
kepada setiap warga masyarakat suatu fasilitas belajar untuk beradaptasi kepada pengetahuan dan keterampilan mutakhir. Masalah-masalah yang tampak sebagai masalah sosial, ekonomi, dan politik bukanlah semata-mata masalah sosial, ekonomi, politik itu sendiri melainkan masalah-masalah kemanusiaan yang harus didekati dari sisi kemanusiaan.
Masyarakat yang berorientasi kemanusiaan ini menghendaki persyaratan nilai, sikap, kebijakan, dan tindakan untuk memperluas akses masyarakat kepada seluruh jenjang pendidikan, membuat manusia  mampu memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di dalam pendidikan dan dunia kerja. UNESCO menganggap bahwa hal ini akan tercapai melalui pengembangan keterampilan untuk semua (life development for all), tidak ekslusif dan menjadikan pendidikan dan latihan sebagai hak asasi manusia yang dapat diakses.
 Pendidikan holistik semacam ini memadukan persiapan hidup dan dunia kerja yang mencakup seluruh domain belajar yang memadukan pendidikan umum dan kejuruan dalam sebuah kontinum  pengetahuan, nilai, kompetensi, dan keterampilan. Dalam pandangan seperti ini konseling menempati peran krusial untuk membantu manusia mampu memenuhi kebutuhan belajar baru dan memberdayakan manusia untuk memperoleh keseimbangan hidup, belajar, dan bekerja. Untuk mencapai tujuan ini UNESCO melihat bahwa konseling, terutama konseling karir adalah hal yang paling penting untuk seluruh peserta didik dan perannya diperluas untuk mempersiapkan peserta didik dan orang dewasa menghadapi perubahan dunai kerja. Dalam perspektif  ini konseling menjadi suatu proses sepanjang hayat yang menyertai proses belajar sepanjang hayat dalam segala jalur, setting, jenjang dengan segala tantangan dan kendalanya.
A European Guidance Forum/Lifelong Guidance Group (IAEVG, 2002) menegaskan bahwa: “Lifelong learning, guidance and counseling, education, training and employment are continuously intersecting cycles and systems in the lives of the European citizen. Information, guidance and counseling have a key role to play in facilitating access, progression and transitions between
these cycles and systems over an individual’s lifetime. Lifelong guidance provision requires the active co-operation if education, training and employment bodies both at national and European levels in order to make the lifelong learning principle reality”. These are the words of the European Commission. It continues: ‘Information, guidance and counseling have been identified as a key
strategic component for implementing a lifelong learning policy8”
Belajar sepanjang hayat dan sejagat hayat menjadi strategi belajar masyarakat global karena beberapa alasan, terutama  dalam (a) memeliharan keberlanjutan akses terhadap belajar untuk menambah dan
memperbaharui pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk keberlangsungan partisipasi dalam masyarakat berbasis pengetahuan, (b) meningkatkan investasi sumberdaya manusia, (c) membangun masyarakat inklusif yang memberi peluang yang sama untuk memperoleh akses belajar yang bermutu, (d) mencapai jenjang pendidikan dan kualifikasi vokasional yang lebih tinggi, dan (e) mendorong masyarakat untuk berperan aktif di dalam kehidupan publik, sosial, dan politik.
 Dari perspektif konseling, kunci dasar untuk mencapai tujuan ini adalah perpektif baru tentang konseling yang berorientasi  pada kemudahan individu dalam mengakses informasi bermutu tentang kesempatan belajar, memberikan bantuan pribadi untuk mengintegrasikan hidup, belajar, dan bekerja, menumbuhkembangkan individu sebagai pribadi, profesional, dan warga negara yang self motivated. Dalam perspektif ini, konseling menjadi layanan yang dapat diakses secara berkelanjutan oleh seluruh lapisan masyarakat, berorientasi holistik, mampu menyediakan layanan dalam rentang kebutuhan yang lebar dan bervariasi, termasuk orang-orang yang tak beruntung dan berkebutuhan khusus.
 Konseling tidak hanya dipelajari sebagai seperangkat teknik, melainkan sebagai kerangka berpikir dan bertindak yang bernuansa kemanusiaan dan keindividuan. Nuansa dimaksud akan lebih tampak pada masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) yang menempatkan orientasi kemanusiaan dan belajar sepanjang hayat sebagai  central feature kehidupan masyarakat masa kini dan yang akan datang. Proses pendidikan tidak lagi sebagai proses parsial, melainkan sebagai proses
holistik yang memadukan persiapan hidup dan dunia kerja yang mencakupi seluruh domain belajar, yang memadukan pendidikan umum dan kejuruan sebagai suatu kontinum pengetahuan, ilai,kompetensi,dan keterampilan. Dalam perspektif ini,konseling memiliki peran membantu
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan belajar baru dan memberdayakan mereka dalam memperoleh keseimbangan hidup, belajar,dan bekerja.
Konseling menjadi proses sepanjang hayat (lifelong  counseling) yang dapat diakses secara berkelanjutan oleh seluruh lapisan masyarakat, berorientasi holistic, mampu menyediakan layanan dalam rentang yang lebar dan bervariasi, termasuk kelompok masyarakat yang beruntung.
 Proses pendidikan mencakup usaha yang secara sadar  dan intensional bertujuan untuk secara terus menerus meningkatkan dan/atau memperbaiki kondisi sasaran pendidikan untuk bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Kerangka konseling seperti ini berfifat holistik yang menyatupadukan hakikat kemanusiaan, wawasan dan keilmuan, keterampilan, nilai serta sikap dalam pelayanan. Pendekatan pelayanan konseling bergeser dari  supply-side ke  demand-side dengan melakukan
upaya proaktif kepada masyarakat yang menjadi target layanan, menggunakan berbagai sumber dan teknologi informasi untuk memperkaya peran profesional, mengembangkan manajemen informasi
dan jaringan kerja konselor, serta memanfaatkan berbagai jalur dan settting layanan. Profesi konseling harus senantiasa terbuka untuk berkembang selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta tuntutan lingkungan akademis dan profesional, sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi dunia pendidikan nasional dan kehidupan manusia pada umumnya.
Profesi konseling merupakan keahlian pelayanan pengembangan pribadi dan pemecahan masalah yang mementingkan pemenuhan kebutuhan dan kebahagiaan pengguna sesuai dengan martabat, nilai, potensi, dan keunikan individu berdasarkan kajian dan penerapan  ilmu dan teknologi dengan acuan dasar ilmu pendidikan dan psikologi yang dikemas dalam kaji-terapan konseling yang diwarnai oleh budaya (termasuk di dalamnya nilai dan norma) Indonesia. Dengan demikian pelayanan konseling di
Indonesia dikembangkan dan dilaksanakan dengan paradigma konseling adalah  pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam budaya Indonesia. Konseling memiliki bidang singgung antara psikologi, pendidikan, dan budaya, terutama berkenaan dengan segi isi dan muatan nilai yang perlu diperhatikan. Dengan paradigma ini para pelaksana konseling perlu menguasai berbagai materi psikologi (psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi kepribadian, psikologi pendidikan, psikologi sosial), materi pendidikan (dasar-dasar pendidikan, kurikulum pendidikan, belajar dan pembelajaran, penilaian pendidikan, pengelolaan pendidikan), serta materi budaya dan konseling lintas budaya.
Materi psiko-pendidikan “dikemas” dalam ilmu dan teknologi konseling dengan warna budaya Indonesia. Bidang konseling yang perlu dikuasai meliputi (1) dasar-dasar keilmuan konseling (pengertian, tujuan, fungsi, asas, prinsip, dan landasan konseling); (2) bidang  konseling ( pribadi,
sosial, belajar, dan karir); (3) jenis-jenis layanan ( orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, mediasi, dan konsultasi); (4) kegiatan pendukung : aplikasi instrumentasi, himpunan data, konfersi kasus, kunjungan rumah, dan alih tangan kasus); dan  (5) profesionalisasi konseling.
Konselor baik di sekolah maupun di luar sekolah,harus memahami bahwa pelayanan konseling yang diselenggarakannya memiliki muatan unsur yang bersifat psikologi, pendidikan,dan budaya. Ketiganya terpadukan dalam kegiatan konseling. Apabila salah satu atau lebih unsur-unsur itu
terabaikan, maka kegiatan konseling kehilangan jati dirinya sebagai pelayanan konseling yang cocok di Indonesia.
Konseling sangat dekat dengan psikologi,bahkan sebagian besar muatan konseling sebagai suatu ilmu bersumber dari psikologi. Psikologi sebagai ilmu pendukung yang paling pokok dalam onseling,bantuan yang demikian disebut bantuan psikologi.Psikologi dalam  konseling berarti
memberikan pemahaman tentang tingkah laku dan perkembangan individu menjadi sasaran layanan (individu atau klien). Ini sangat penting karena bidang garapan konseling adalah tingkah laku dan perkembangan individu,yaitu tingkah laku yang perlu diubah atau  dikembangkan secara optimal. Setiap individu yang berkembang harus menyelesaikan tugas-tugas perkembangan itu apabila ia hendak dikatakan  sebagai individu yang bahagia dan sukses.
Selain itu konseling didukung ilmu pendidikan karena individu yang terlibat di dalamnya menjalani proses belajar, dan kegiatan  tersebut bersifat normative, obyektif, dan berorientasi pemecahan masalah. Bersifat normative, yaitu dengan sengaja membantu individu berkembang ke arah baik dan benar yang diwujudkan dalam perubahan perilaku. Ilmu pendidikan sebagai ilmu normative memiliki landasan-landasan ilmiah dan menggunakan metode-metode ilmiah di dalam mewujudkan fungsi
keilmuannya, yaitu fungsi mempelajari dan membawa individu untuk mencapai tujuan yang iinginkan. Bersifat obyektif yaitu mempelajari apa adanya tentang individu sebagai suatu organisma yang sedang berkembang dan berbagai factor yang terkait dengan perkembangannya. Berorientasi pemecahan masalah baik dalam tataran obyektif (dalam proses mempelajari) maupun dalam tataran normative  (dalam proses membawa). Orientasi masalah dalam tataran obyektif  terfokus kepada
persoalan apa dan mengapa individu berada dalam kondisi demikian,dan orientasi masalah pada taran normative terkait dengan bagaimana mengembangkan, mengubah, dan memperbaiki kondisi tersebut. Pelayanan konseling harus didasarkan norma-norma yang berlaku, baik isinya, prosesnya, tekniknya, maupun instrumentasinya yang dipergunakannya. Pelayanan yang tidak normative bukanlah pelayanan konseling. Konseling yang dimaksud disini merupakan pelayanan bantuan
yang berakar pada budaya kita, dan mempunyai landasan ilmiah psikologi dan pendidikan.
 Teori pendidikan adalah pengetahuan tentang makna dan bagaimana seyogyanya pendidikan itu dilaksanakan,sedangkan praktek adalah tentang pelaksanaan pendidikan secara konkretnya nyatanya). Praksis pendidikan adalah bidang kehidupan dan kegiatan praktis pendidikan.
Kedua jenis seyogyanya tidak dipisahkan, sebaiknya  siapa yang berkecimpung dalam bidang endidikan perlu menguasai keduanya. Teori mengandaikan praktek dan praktek berlandaskan teori.
 Pendidikan dipandang bukan semata-mata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi juga untuk kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju  tingkat kedewasaannya. Pendidikan tidak dipandang hanya sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan  keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan.  Konseling sangat signifikan sebagai salah satu upaya pendidikan untuk membantu individu yang sedang dalam proses perkembangan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan dan tuntutan lingkungan. Hakikat pendidikan sebagai pembangunan nasional, pemberdayaan dan pembudayaan manusia, upaya pengembangan kemampuan manusia, dan sebagai investasi sumber daya manusia. Dalam pelaksanaannya, pendidikan yang tuntas tidak hanya didasarkan pada  pelayanan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru mata pelajaran dan layanan pelatihan yang dilakukan oleh guru praktik, tapi juga pada pelayanan  konseling yang dilakukan oleh konselor sekolah. 
Melalui layanan konseling, konselor akan membantu terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengatasan masalah agar  peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia.

0 comments:

Post a Comment